Enam

45 7 0
                                    

Ridhanu membaca selembar surat keputusan rektor untuk kesekian kalinya. Senyuman tersungging di bibir mahasiswa semester tujuh tersebut. Jabatan sebagai presiden mahasiswa atau Ketua BEM Universitas periode 2023-2024 akhirnya berada dalam genggaman. Sebuah kebanggaan tersendiri atas pencapaian tertinggi dalam karir organisasinya di kampus putih ini.

"Ridh, udah datang semua ini," ucap Faris, mahasiswa semester tujuh jurusan Manajemen, membuyarkan lamunan Ridhanu.

"Oke, kita mulai rapatnya sekarang."

Ridhanu memimpin rapat perdana yang bertempat di kantor BEM yang terletak di lantai empat gedung Student Center.

Pembahasan utama adalah pembentukan struktur organisasi. Siapa saja yang akan menempati jabatan sekretaris, bendahara, dan masing-masing departemen. Ketua dan wakil ketua sudah diputuskan sebelum pelantikan melalui voting anggota terpilih. Faris yang berasal dari partai berbeda dengan Ridhanu, memperoleh dua suara di bawahnya.

"Semua sudah saya masukkan ke struktur. Itu adalah hasil diskusi dengan wakil ketua dan juga pimpinan partai terpilih. Ada pertanyaan?" tanya Ridhanu seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi.

Laki-laki bertubuh tegap itu mengedarkan pandang pada 20 anggota yang hadir. Tatapannya terhenti pada sosok gadis berkerudung merah.

"Asyifa, tolong catat semua hasil rapat malam ini," pinta Ridhanu pada mahasiswi yang menjadi sekretarisnya itu. "Notulensi itu nanti serahkan ke saya."

Asyifa mengangkat kepala, menatap Ridhanu sekilas, kemudian mengangguk pelan. Momen kali ini dirasakannya begitu berat. Datang ke rapat saja harus dimotivasi Hana terlebih dahulu. Asyifa takut tidak bisa mengkondisikan hatinya saat berhadapan langsung dengan Ridhanu. Benar saja, tubuh Asyifa mendadak lemas saat laki-laki itu tadi tiba di kantor BEM.

"Hasil apa, Pak Pres?" tanya Nida, mahasiswa semester lima jurusan Teknik Elektro. "Bukannya kita hanya membahas tentang struktur organisasi saja."

Ridhanu tersenyum simpul. Matanya berbinar, menyiratkan sebuah ide cemerlang yang akan dijelaskan. Sebuah peraturan baru yang akan diterapkan di organisasi yang dipimpinnya.

"Saya akan bahas tentang sebuah peraturan tidak tertulis di dalam BEM Universitas." Ridhanu berbicara dengan pelan tapi intonasinya terdengar tegas.

Semua mata menatap heran ke arah sang ketua. Peraturan dalam organisasi semestinya dibahas dalam rapat kerja yang akan berlangsung dua minggu lagi. Para anggota sibuk mengemukakan pendapat masing-masing. Terkecuali, Asyifa yang terus diam menatap buku dan sibuk memainkan bolpoin.

"Begini teman-teman, yang saya maksud di sini adalah tentang peraturan tidak tertulis. Peraturan ini tidak akan kita bahas di raker. Bahkan di organisasi lain pun, saya rasa tidak ada, kecuali lembaga dakwah kampus."

"Peraturan apa?"

Hampir seluruh anggota rapat menerka-nerka.

Ridhanu menarik napas sejenak. "Jadi, peraturannya adalah dilarang pacaran."

Ruangan menjadi riuh setelah Ridhanu menyelesaikan kalimat terakhir. Beragam reaksi mengiringi pembacaan peraturan tersebut. Ada yang tertawa, marah-marah, bahkan ada yang hanya diam saja.

"Peraturan macam apa ini? Ini namanya pelanggaran HAM!" tegas Faris sambil memukul meja. Karakter mahasiswa berambut jabrik itu memang sedikit temperamental.

"Ngaco, ah. Bapak Presma yang terhormat. Apa dasar Anda mengeluarkan larangan dilarang pacaran? Karena anda jomblo, gitu?" Nida pun ikut menyuarakan pendapatnya. "Egois sekali, ya."

Ridhanu tersenyum tipis menanggapi reaksi teman-temannya. Ia memang sudah menduga jika respon teman-temannya akan beragam. Zaman sekarang pacaran malah menjadi gaya hidup remaja dan dewasa awal. Kehebohan ini dirasanya wajar saja. Ia pun pernah berada di posisi mereka.

"Silakan kalau ada yang mau berpendapat lagi, setelah itu akan saya jelaskan." Ridhanu masih bersikap tenang. Ia sudah terlatih menjadi pemimpin dengan karakter anggota yang beragam.

"Saya tidak setuju," ujar Faris tegas. "Peraturan ini sangat cringe."

"Saya juga," ucap Nida sambil mengangkat tangan kanan lurus ke atas.

Hampir semua anggota akhirnya menyuarakan penolakan terhadap peraturan tersebut. Hanya Asyifa yang terdiam melihat kehebohan teman-temannya. Ia paham kenapa Ridhanu mengelurkan statement tersebut.

"Begini, banyak pengalaman teman-teman aktivis yang ternyata gagal menjalankan perannya di organisasi karena satu hal itu, pacaran. Bukan hanya terhalang untuk ikut rapat, tapi juga kegiatan lainnya. Mereka lebih memberatkan pacarnya, terutama aktivis laki-laki, ya. Saya tidak mau saja kinerja BEM menjadi terhambat dengan masalah seperti itu." Ridhanu mengungkap alasan kenapa peraturan tersebut muncul.

"Saya tidak akan menyinggung masalah pacaran dan agama. Itu sesuai keyakinan teman-teman sendiri. Saya hanya menginginkan profesionalitas dalam berorganisasi saja," imbuh Ridhanu.

"Hal seperti itu kurang cocok untuk dijadikan dasar keluarnya peraturan dilarang pacaran. Pribadi orang itu tidak sama. Saya dari semester satu sudah menjadi aktivis dan pacaran juga. Tidak ada masalah," jelas Faris diikuti tepukan tangan dari teman-teman yang lain.

"Apa ada jaminan dari kalian, jika pacaran tidak akan mengganggu kinerja berorganisasi?" tanya Ridhanu sambil mengedarkan pandang ke seluruh anggota.

"Tentu saja. Saya bisa pastikan pacaran tidak akan mengganggu kinerja saya," ucap Nida tegas. Pendapat gadis itu mendapat respon baik dari teman-teman yang lain, tentunya yang dalam kehidupannya punya pacar.

Ridhanu mengusap dahinya. Pengalaman pribadinya saat masih menjadi mahasiswa baru begitu membekas. Ia pernah menjalin hubungan percintaan dengan salah satu teman di fakultasnya. Namun, mantan pacarnya tersebut tidak mendukung Ridhanu menjadi aktivis. Hidupnya seolah diharuskan hanya untuk gadis itu. Ridhanu menjadi terhambat mengaktualisasikan diri dalam organisasi.

Sejak saat itu, Ridhanu tidak mau pacaran lagi, menghindari jatuh cinta, bahkan menolak cinta. Hidup laki-laki berambut lurus dengan belahan samping itu adalah untuk kuliah dan organisasi. Namun, kondisi berbeda malah terjadi kepadanya.

"Baiklah, jika semua bisa mempunyai prinsip yang kuat terhadap organisasi. Silakan kalau mau pacaran, tapi ingat, jika saya dapati pekerjaan kalian terbengkalai sedikit saja. Siap-siap dengan konsekuensi yang harus diterima," jelas Ridhanu merevisi peraturan yang dibuatnya.

Tepuk tangan membahana di dalam ruangan berukuran enam kali lima meter tersebut.

"Gitu, dong. Pacaran itu bagian dari hak asasi manusia." Faris tersenyum puas. "Kita di sini udah sama-sama dewasa. Pasti bisa memilah mana yang tepat dan tidak."

"Sepakat, itu tergantung komitmen kalian. Saya harap tidak ada yang saling lirik di sini," imbuh Ridhanu.

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang