0,7

240 20 2
                                    

Happy reading

☆★☆

Seminggu telah berlalu dengan cepat. Selama itu pula Shaka selalu pulang malam. Karena memang Ayah dan kedua kakaknya tengah memiliki kesibukan masing masing. Mereka memilih tinggal di apartemen dibanding pulang ke rumah. Shaka yang merasa tidak diawasi pun selalu bebas pergi dan pulang kapan saja.

Seperti saat ini. Walaupun besok masih berangkat ke sekolah, Shaka baru saja menginjakkan kakinya pukul setengah satu dini hari. Waktu dimana seharusnya ia gunakan untuk istirahat dan menyelam ke dalam alam mimpi. Ia berharap kakaknya tidak ada di rumah. Shaka hanya tidak mau mendengar ocehan dari mereka.

Shaka berjalan santai memasuki rumahnya yang sengaja tidak di kunci. Melangkah dengan santai tanpa melihat sekitarnya yang temaram. Memang huniannya ini tidak menyalakan lampu utama sepanjang malam. Jika sudah jam tidur, maka lampu akan dimatikan.

"Baru pulang kamu? Dari mana aja? Balap liar? Tawuran? Atau nongkrong nggak jelas?"

Baru akan memijak anak tangga, namun suara bariton menginstupsinya. Ia membalikan badannya menatap pria paruh baya yang berstasus sebagai Ayahnya itu. Shaka tak menduga Ayahnya akan pulang hari ini. Sang ayah pun tak mengabari jika akan pulang dalam waktu dekat.

"A-ayah?" Bukan menjawab, Shaka malah bertanya balik dengan nada gugup.

Sang ayah, Ardhana, menghela nafas. "Ayah tanya, kamu dari mana aja? Mulut kamu masih berfungsi kan?"

Sungguh, Shaka merasa lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan sederhana dari Ayahnya itu. "Maaf Yah."

"Maaf? Kamu pikir Ayah nggak tau kalo akhir-akhir ini kamu pulang malem? Sejak kapan Ayah ngijinin kamu pulang malem?"

Pertanyaan demi pertanyaan memborbardir Shaka. Anak itu menunduk penuh sesal dan takut. "Maaf."

Lagi, Shaka tak mampu menjawabnya. Ardhana mendecih pelan. "Cih! Nggak ada yang lain apa? Ayah nggak cuma ngasih satu pertanyaan, tapi dengan entengnya kamu bilang maaf, tanpa penjelasan?"

"Lihat kakak kamu, pernah nggak mereka pulang malem tanpa alasan kayak kamu? Enggak kan. Kamu pikir Ayah nggak di rumah kamu bisa bebas? Iya?" Lagi lagi Ayahnya melempar tanya.

Kali ini kedua tangan Shaka terkepal. Ia paling benci ketika Ayahnya membandingkan seperti ini. Shaka menatap Ardhana penuh keberanian. "Maaf, Yah, Shaka ya Shaka. Shaka bukan Abang ataupun A'a. Shaka juga nggak mungkin bisa sama kayak mereka, Ayah. Kenapa Ayah selalu bandingin Shaka sama mereka?"

Ardhana menaikkan alisnya bingung. "Bandingin? Bukannya itu fakta? Apa yang kakak kamu kasih selalu memuaskan. Mereka selalu bisa banggain Ayah. Nggak pernah punya catatan buruk. Mereka juga nggak pernah pulang malem tanpa ijin kayak kamu."

"CUKUP, AYAH!!" Tanpa sadar Shaka meninggikan suaranya.

Plaak

Shaka terdiam dengan kepala yang menoleh ke samping.

"BERANI KAMU MENINGGIKAN SUARA KAMU, SHAKA?" Ardhana membalas dengan suara tak kalah tinggi

Detak jantungnya berdegup kencang. Ia terkejut dengan perlakuan Ayahnya. Shaka menatap tak percaya pada Ardhana. Sebelah pipinya tampak memerah akibat tamparan yang diberikan Ayahnya.

"Ayah berubah..." Lirih Shaka.

Setelahnya Shaka menaiki tangga setengah berlari. Dapat Ardhana suara pintu yang ditutup kencang. Ayah tiga anak itu menghela nafas panjang. Ia menatap telapak tangannya yang memerah. Tak mau memikirkannya lagi, pria paruh baya itu lantas pergi ke kamarnya. Mengistirahatkan tubuh lelahnya.

This is ArshakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang