22

706 48 14
                                    

Langit begitu cerah, terlihat biru di antara awan yang berarak dengan cepat. Leon kecil melambaikan tangannya saat jalan lenggang, Pond dan Phuwin terus tersenyum mengamati tingkah putra kecil mereka.

Arah angin seolah bergulung, Phuwin menyanyikan lagu dengan senandung riang. Tangan Pond menjalin padanya bergandengan tangan bak sepasang kekasih, ungkapan cintanya telah tersampaikan tanpa kata.

"Leon, kincir anginnya mana?"

"Humm... Leon meninggalkannya dirumah" murung bocah itu.

"Tidak apa-apa nanti kita akan membelinya saat tiba di provinsi Lopburi" ujar Pond menenangkan.

Lima belas menit kemudian mereka belum hening, Pond menyerngitkan dahi. Istri dan anaknya masih bersenandung, dengan jelas ia melihat asap mengepul tinggi membentang di sepanjang arah jalan. Pond menginjak rem mobil sekuat tenaga, kepalanya berbalik ke arah Phuwin. "SAYANG..." dia histeris.

Phuwin menggeleng kuat, memeluk anaknya dengan erat hingga terpaan tubuh Pond melindunginya tak mendengar kekacauan lagi.

Pond terengah-engah, pelipisnya nyeri luar biasa. Dua sosok lelaki di pelukannya tak membuka mata, hatinya mendadak nyeri "sayang... Sayang..."

Tak ada sahutan apapun, beberapa saat kemudian tubuh mereka terguncang sangat hebat. Nyaris tak dapat mempertahankan kesadaran, Pond memeluk kepala pria manisnya "Phu... Apa kau mendengar ku?..." Dia berbisik pelan, suara histeris hingga sirine sayup-sayup terdengar di telinganya. Pond terisak-isak, tenaganya habis menahan bobot atap mobil yang sudah peyot menimpa mereka.

Di akhir kesadaran Pond hanya bisa menggendong kepala Phuwin di tangannya, itu adalah usahanya memastikan tanda-tanda kehidupan.

Ambulance mendekat cepat, beberapa tim mengevakuasi korban sangat hati-hati. Di beberapa sisi jalan polisi memberi jarak, melarang kerumunan orang yang menyaksikan kejadian.

.
.
.
.
.

"Dimana cucuku?"

Beberapa perawat nampak bingung dengan kegaduhan sepasang suami-istri, namun selang beberapa saat mendengar tentang pasien yang baru saja tiba, mereka dengan penuh perhatian mengantar ke UGD.

"PHUWIN..."

Siapapun tau bahwa nada suara wanita tua itu benar-benar terluka, tak ada yang bisa menghalangi bagaimana dia memeluk sosok cucunya dengan raungan pilu. Sesak dadanya, begitu hancur dirinya. Sang suami yang mencoba menguatkannya bahkan nyaris tak sanggup berbagi ketenangan, kakek Phuwin meremas kain gorden pembatas dengan raut tak percaya.

"Di mana? Pond? Leon? "

Perawat wanita itu terdiam, menunduk penuh sesal "tuan mohon tenang"

"BAGAIMANA AKU AKAN TENANG? DIMANA MENANTU KAMI? CUCU KECIL KAMI?"

"Maafkan kami, pasien atas mana Leon meninggal dalam perjalanan—

—KALIAN GILA?" teriak pria tua itu, tangannya gemetar "AKU BISA MEMBUAT RUMAH SAKIT INI TUTUP, APA KAU MEMPERMAINKAN KU?"

"Kami menyesal..."

Nenek Phuwin pingsan, tangisan sang suami semakin kencang. Beberapa perawat membantu menaikkan istrinya ke atas ranjang UGD. Akhirnya ia berlutut, menenggelamkan wajah di tengah kakinya begitu kecewa. "Tidak... Tidak mungkin"

"Kakek..."

Suara tak asing itu membuatnya mendongak, Pond berdiri bagai mayat hidup. Wajah pria itu penuh air mata, tak akan ada yang cukup untuk mengganti kehilangan ini. Pond mengangguk-angguk pelan seolah hilang kesadaran, nyawanya hampir habis. "Anakku, Leon..." Dia terisak, melesakkan tinju ke dadanya sangat kuat "Bagaimana kami akan hidup?"

"Tidak Pond... Tidak" lelaki tua itu berdiri, berjalan cepat menggeser menantunya yang baru saja keluar dari ruangan. Kakinya nyaris lumpuh, untuk sesaat dunia runtuh. Bagaimana bisa sosok mungil yang selalu bergelantungan di kakinya, kini diam kaku di atas pembaringan tanpa nyawa lagi? "Ti—tidak... Tidak.. tidak..."

Dia meneguk saliva, air matanya belum berhenti. Dengan penuh kelembutan menyamai wajah pria kecil kesayangannya, dengan bibir keriput bergetar dia menahan isakan "Leon... Leon sayang... Kakek sudah datang, nak... Bangunlah, kakek disini"

Tak ada respon apapun, Pond meninju tembok di samping pintu sembari meraung.

Si kakek nyaris gila, wajah tampan cucu kecilnya pucat tanpa darah. Dia menatap lurus ke depan, menarik Leon masuk dalam pelukan erat nya. "Leon..." Air bening itu membuka perpisahan "cucuku... Ayo nak bangun... Kakek janji, jika kau menginap dirumah, kakek tidak akan melarang mu memakan permen. Leon? Kau dengar kan"

Ada beberapa orang mencoba menenangkan, perawat bahkan mencoba tetap disana jaga-jaga jika si kakek pingsan.

"Tuan Pond?"

Sejak tadi berdiri di dekat pintu, dia mendongak. Hampir lupa karena perasaan sakitnya, sang istri bahkan kini masih dalam kondisi kritis. "Iya... Bagaimana istri saya?"

"Kami memberi penanganan, tapi ada yang ganjal dengan saraf otaknya"

Pond meneguk saliva, nyawanya hampir terlepas "dia sakit, beberapa bulan ini menjalani pengobatan karena sel kanker di otaknya"

Tak dapat dipungkiri, wajah Dokter itu benar-benar terkejut. "Silahkan temui saya di ruangan, kami perlu mendiskusikan sesuatu"

Pond mengangguk singkat, mencoba benar-benar kuat dia sempat berbalik menyaksikan si kakek masih meraung.

Dia berjalan terseok, semua rasa nyeri yang menghantam tubuhnya tak terasa lagi. Sempat meletakkan kepalan tangan di pelipisnya, Pond sadar dia nyaris gila.

"Silahkan masuk"

Di depan pintu ruangan dokter, ia mengelap air mata sepenuhnya. Kemudian masuk dan duduk.

"Tuan Pond, kami turut berdukacita"

Dia tak merespon, matanya melirik ke bawah bagai orang tak berakal.

"Kita harus mempercepat operasi"

"Operasi? Istriku?" Pond mengangguk-angguk, air matanya mengalir begitu saja "dokter, bunuh aku saja—

—tuan Pond" pria di seberang meja memperbaiki jas lab nya "tolong tetap tenang, saya akan menjelaskan prosedurnya dengan singkat" dia menyerahkan sebuah proposal, nampak sudah hampir usang "Proses transplantasi otak adalah operasi yang benar-benar jarang dilakukan. Dan kami masih Sulit mendapatkan pendonor. Ada serangkaian tes untuk menentukan kecocokan donor"

"Bagaimana cara mendapatkannya?"

Sang dokter menunduk "maaf tuan, dalam kurun waktu sebentar, itu sangat mustahil"

Ada begitu banyak penderitaan di wajah Pond, dia memejamkan mata meraup udara "aku akan melakukan tes, tolong... Tolong selamatkan istriku"

"Tuan Pond, apa anda bisa membayangkan bagaimana kerusakan yang terjadi pada otak pasien?"

"Humm..." Pond mengangguk tak peduli "tidak perlu menukarnya, ambil saja milikku"

Beberapa saat dia persilahkan keluar dari ruangan, kakinya melangkah tak memiliki rasa lagi. Seolah ia berdiri di akhir kehidupan, kenyataan pahit menggerogotinya. Pond bersandar pada dinding, menghela nafas panjang menekan seluruh perasaan gila dalam dadanya.

Phu? Apa kau percaya bahwa dulu, hatiku bahkan tak pernah hidup? Apa kau akan percaya bahwa sekarang tuhan sudah merenggut semua kebahagiaan dalam hidupku. Takdir baik yang berjalan akhirnya menenggelamkan ku, orang-orang yang kucintai bahkan berjuang dan gagal untuk bertahan. Sekarang bagaimana aku akan hidup?

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

😭🤏🏻 Dhlah



















Wishes And Dreams [Pondphuwin]18+[END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang