"apa ini yang namanya Leon? Hah?" Suara gemuruh tawa, raut antusias serta gerakan cepat pria tua mengangkat sosok kecil dari gendongan Phuwin membuat suasana rumah itu mendadak hangat.
"Salam kakek..." Riang Leon mencoba menampilkan senyum terbaiknya "apa kakek dan nenek sehat?"
"Ugh... Menggemaskan, dia bahkan lebih pintar darimu Phu..."
Phuwin tertawa.
"Phu... masuklah untuk beristirahat"
sang nenek mengusap rambutnya penuh kelembutan, dan Phuwin paham bahwa rindu itu tak sepenuhnya mengalir. "Apa kalian sehat-sehat saja?"
"Humm... Kami sehat, sangat sehat..."
Jeda sebentar, sebelum pekikan senang menggelegar. Arah pandang Phuwin tertuju ke halaman rumah, kumpulan rumput hijau untuk saat yang lama meninggalkan jejak kaki bekas hentakan. Sangat paham bahwa si kakek begitu bahagia saat dia membawa sosok lain dalam rumpun keluarga kecil mereka, nyaris tak pernah menampakkan diri, kini dia hadir untuk pertama kali bersama malaikat kecil membawa kebahagiaan.
"Ayo masuk..."
Phuwin mengangguk, Leon dan kakeknya mempunyai cara sendiri, dengan waktu yang entah akan berlangsung sampai kapan, dia membiarkan kerukunan itu terus terjalin.
Rumah ini tak pernah berubah, banyak sudah kehidupan singkat yang terpotong, sebentar kesana, sebentar kemari. Phuwin masih ingat dengan jelas bagaimana orang tuanya begitu semangat tiap mereka mendatangi tempat ini, tersapu oleh rute perjalanan duka terakhir kali, dimana pada akhirnya ia tak berani menginjakkan kaki di keramik tua ini lagi.
"Patung kesukaan ayah..." Cicit si manis, menyentuh permukaan kasar pajangan batu panda menggemaskan.
"Beberapa lama kami berencana pergi ke Bangkok untuk mengunjungi pusara mereka, tapi kakek mu tak pernah bisa" suara lembut itu memelan, bersama dengan kegundahan yang entah berapa lama sudah tertahan "seakan semuanya adalah mimpi, kami tak pernah yakin bahwa Earth sudah lama meninggalkan kami"
"Entahlah, semuanya benar-benar nyata untukku" bisik Phuwin mencoba memeluk wanita tua itu "semuanya akan baik-baik saja"
"Kami akan lega jika kau benar-benar menjaga dirimu nak" empat gelas sudah berdiri kosong di counter table sejak tadi "mungkin hari ini kau masih memelukku dan terus mengucapkan kata-kata baik, untuk selanjutnya?"
"Aku sudah sehat, kakek dan nenek jangan mengkhawatirkan apapun"
Suasana menjadi sunyi, tak ada yang bisa melontarkan kata lagi untuk membuat mereka merasa lebih baik. Menghangatkan jari-jari di bawah udara dingin kota tua lewat pelukan erat, sang nenek memeriksa tulang pipinya sangat lembut. "Beristirahatlah di kamar, salju akan turun besok"
"Semuanya masih sama" cicit Phuwin tersenyum kecil "saat nanti mereka sudah masuk ke rumah, tolong suruh Leon menyusul ke kamar ku"
"Pergilah Phu, kau perlu istirahat"
Menghabiskan waktu di kota Melbourne adalah memori masa kecil menyuguhkan rasa duka dalam hati Phuwin, kenangan di sepanjang tempat ini tak pernah luput dari bayangan kedua orang tuanya. Anak tangga yang ia pijak mengantarkannya pada pintu berwarna perak, kontras dengan ukiran daun bunga menjalar yang indah. Kenop pintu terasa dingin ia putar pelan, seketika percikan rindu menggerogoti relung hati.
Lucu, bagaimana ia selalu membayangkan tempat ini. Tempat tidur empuk kala musim dingin masih saja sama tak berhenti, terlelap disana di kelilingi orang-orang yang mencintainya adalah waktu yang tak akan pernah bisa terulang lagi.
"Aku benar-benar sampai disini, dan sekarang tanpa kalian"
Pond, bukankah dia adalah lelaki yang Phuwin harap menggantikan peran kedua orang tuanya sekaligus? Lantas mengapa lelaki itu menorehkan luka dalam akan harapannya?
Uluran tangan yang bersahabat, nyatanya terlepas. Bagai terbungkuk dengan rendah, sosok manis pucat itu sangat terluka. Dia melangkahkan kaki, perlahan menengok kaca jendela memperhatikan dua orang yang masih asik berkejaran dibawah sana.
.
.
.
.
."Tuan Pond, makanlah..."
Bubur hangat yang hampir tak berbentuk itu tak tersentuh, dua bongkah vitamin di sisi kiri bahkan tak kunjung mendapat perhatian.
Wajah tegasnya kaku, diam datar tanpa minat sama sekali. Dia masih sempat melirik wanita tua sebelum akhirnya benar-benar memejamkan mata, tak ada pergerakan apapun.
"Tuan Pond, mohon makanlah... Agar kau cepat sembuh"
"Tak ada gunanya" suara Pond begitu muak, keras kepala "meski aku sembuh, tak ada yang akan berubah"
"Tuan—
—Phuwin dan Leon, dimana mereka?"
Bibi Chai menunduk dalam, sebelum akhirnya berbalik menatap sosok tegap itu dengan ekspresi sedih "jika tuan Pond sembuh, aku janji akan memberitahukan tempat mereka"
"Bibi Chai? Kau bisa memegang ucapanmu?" Suaranya menuntut, dengan mata berbinar penuh harapan.
"Aku bisa menjanjikannya untuk tuan Pond, tapi tolong cepat sembuh..."
Dia mengangguk, sekarang ekspresinya berubah lebih semangat. Dengan ujung jari perlahan menyentuh nakas meminta seteguk air minum, dia tak dapat menahan harapan yang menggebu-gebu. Bibi Chai mulai menyuapkan beberapa hidangan yang nampak hambar, vitamin juga tablet yang dokter titipkan untuk mempercepat pemulihan.
Hening saat Pond mulai mencicipi banyak macam makanan sehat, sekarang fokusnya hanya tentang kesembuhan. Dia memiliki rencana penuh kedepannya, tentang bagaimana semua kesalahpahaman ini akan dijelaskan, Pond sudah menyusun kata kalimat yang cocok.
Entah bagaimana, segalanya terasa dekat. Dua malaikat manis yang dia rindukan setengah mati tak akan berpisah lebih lama lagi, menuntaskan pertikaian di antara mereka sepatutnya jadi hal yang tak sabar untuk Pond lakukan.
"Tuan..."
"Iya, Bibi Chai?"
"Tuan muda tak sekuat itu" dia menyambung pembicaraan dengan kikuk "Seandainya suatu hari dia benar-benar tak sanggup lagi, apa tuan Pond berjanji untuk tetap ada disisinya?"
"Tapi dia jauh lebih kuat dibandingkan dengan ku, dia jauh lebih pantas untuk mendapat segala kebahagiaan" Pond diam memberi jeda untuk bernafas "ketimbang berjanji untuk tetap ada disisinya, aku akan menjanjikan sesuatu yang lebih baik"
Bibi Chai mendongak, bersimpati lebih dalam saat raut wajah lelaki tegap di sana semakin yakin.
"Dia tak akan pernah menanggung kesakitan lagi, apapun itu... Phuwin tak akan pernah merasakannya lagi, aku berjanji"
Hanya ada satu orang di dunia, yang begitu takjub sejak ditemuinya. Pandangan kosong ke arah depan, bunyi denting alat makan saat dibereskan tak terlalu menyita perhatian. Suasana hati dan jiwa melembut saat jadi perpaduan, serentetan kisah yang coba ia ukir nampaknya berkejaran mencapai titik akhir.
Tangan Pond mendekap tubuh seolah-olah kedinginan, wajah manis dalam bayangannya terlampau banyak menitipkan rasa rindu. Getaran udara dingin yang khas, mata jernih kini tertutup mengucap doa dan pengharapan.
"Tuhan, kabulkan doaku..." Lirih Pond, menundukkan kepala dalam kekhusyukan.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa follow komen dan ninggalin jejak 💙😌🙏🏻
Btw, up cerita harinya selang-seling yah, soalnya harus up tiga cerita sekaligus, agak susah kalau tiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishes And Dreams [Pondphuwin]18+[END]
Hayran Kurgu"Lonceng sepeda apa?" Wajah manisnya kebingungan, mengapa dia menyusun alur yang bahkan tak pernah hadir dalam ingatannya? "Apakah ada legenda tentang dua malaikat muncul di permukaan salju? Aku selalu memimpikannya" Kerinduan menguliti tubuhnya, ka...