🌼🌼🌼
.
.
.
.
Hari demi hari berlalu. Pagi ini berjalan seperti biasanya. Hanya saja aku berangkat sekolah bersama papa. Aku sudah memberitahu Ali sebelumnya. Sepagi ini aku tahu dia masih tertidur pulas.Sekolah tentu masih sepi. Aku menyusuri koridor, satu-dua orang berdatangan di belakangku.
**
Karena bosan menunggu teman kelas datang, aku memilih keluar kelas. Melihat murid yang mulai berdatangan di lantai bawah.
Mataku menyipit saat seorang laki-laki berjalan dengan santai. Rambut berantakan. Seragam tidak rapi. Juga tas sekolahnya yang hanya dia kaitkan di sebelah bahunya. Aku menggelengkan kepalaku, siapa lagi selain si biang kerok, Ali.Aneh sekali, tidak kusangka dia tetap berangkat pagi. Kukira Ali akan kesiangan.
Dia seolah menyadari bahwa aku memerhatikannya dari lantai atas. Ali mengadah ke arahku, lalu tersenyum tipis. Ya kuakui senyumannya memang manis. Tapi aku hanya diam saja. Tanpa membalasnya tersenyum. Masih tidak mengerti kenapa aku bisa kenal dengan orang itu.
Setelah itu, dia kembali berjalan, hendak menaiki tangga. Tak lama kemudian, dia muncul. Berjalan menghampiriku.
Tangannya sibuk mengusap-usap rambut berantakannya yang mulai gondrong. Bahkan sudah sejajar dengan matanya. Hampir matanya tidak terlihat oleh poninya sendiri.
"Pagi Ra." Sapa-nya riang. Kalimat itu sudah sangat terbiasa di telingaku. Ali menampakkan deretan giginya. Matanya menyipit saat tersenyum. Lagi-lagi aku mengakui dia itu-manis. Selebihnya, menyebalkan.
Tapi entahlah, aku malas tersenyum, hanya menyilangkan kedua tanganku.
"Pagi." Jawabku singkat. Raut wajahnya nampak kecewa.
"Jika orang lain yang menyapa dijawab ketus begitu pasti kapok." Alisku berkerut. Sebenarnya malas sekali harus berdebat pagi buta begini.
"Hmm kecuali kamu kan. Mana ada seorang Ali kapok." Ucapku sambil meliriknya yang tengah menatap ke lantai bawah. Melihatnya dari samping begini, bisa-bisanya aku salah fokus pada hidung mancungnya. Ah-tidak. Bukan saatnya memuji si biang kerok.
Tak lama dia menoleh, menatapku tanpa ekspresi apapun.
"Kenapa?" Sebelah alisku terangkat.
"Se-sulit itu tersenyum?" Tanya Ali dengan suara berat.
"Jika aku tidak mau, bagaimana?" Aku sedikit mendongak, Ali ini cepat sekali tumbuh, tinggi. Sudah seperti tiang berjalan. Dia masih menatapku. Mataku mengerjap, haruskah aku salah tingkah di situasi seperti ini.
"Sombong." Ketusnya sambil membuang muka. Astaga perkara senyum saja dia merajuk seperti anak kecil. Mulutku terbuka lalu tertawa pahit.
"Lagipula Ali, kamu sudah melihatku tersenyum berkali-kali bukan?"
Mendengar jawabanku, dia hanya diam.
"Ali?" Aku menepuk lengannya.
Pada akhirnya dia menoleh, seakan menaruh dendam dalam raut wajahnya. Aku menyeringit, situasi apa ini. Kenapa biang kerok ini serius sekali.
"Fikirkan saja sendiri."
Setelah itu dia masuk ke dalam kelas. Barusan itu apa? suasana hatinya sedang buruk? dia seperti perempuan yang sensitif saat pms.
Karena penasaran aku ikut masuk kelas. Sudah ada beberapa murid. Biasanya Ali tertidur, tapi dia justeru fokus pada ponselnya. Tentu saja mulai bermunculan pertanyaan dalam otakku. Apa dia marah? Haruskah aku meminta maaf? Hey bukankah tidak terjadi masalah yang besar, untuk apa aku meminta maaf padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone(RaSeLi)
Teen FictionPersahabatan diantara tiga remaja SMA yaitu Raib, Seli dan Ali, seiring berjalannya waktu mulai berubah. Sesuatu yang nampak kian terlihat. Tentang Ali yang tidak menyadari perhatiannya yang lebih pada Raib. Hingga menyebabkan Raib bertanya-tanya da...