11. Wraak

215 5 1
                                    

“Saya bukan lengah, saya hanya  menyaksikan aksimu dalam diam, seekor singa tidak akan menerkam jika tidak ada yang mengusiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Saya bukan lengah, saya hanya  menyaksikan aksimu dalam diam, seekor singa tidak akan menerkam jika tidak ada yang mengusiknya.” –STORY GAVINDRA.

Judulnya menggunakan bahasa Belanda yang artinya 'Balas Dendam'

Gavin dan Alina saat ini tengah berjalan-jalan ke pasar malam dekat rumah. Gavin menggandeng tangan kesayangannya dengan erat sembari mengayunkannnya kedepan kebelakang seperti menggandeng anak kecil.

Dan sejauh ini, Alina bahagia karena hal kecil seperti itu, saat ini, mereka sedang berhenti di depan penjual makanan kesukaan Gavin.

"Mochi, mbak, mochi duren satu!" Ujar Gavin pada penjual Mochi itu. "Siap mas Jay!" Ujar  penjual itu centil. Mengedipkan matanya berkali-kali seperti kelilipan kudanil.

Alina melirik sinis. "Mbak! Nggak usah kegenitan ya, saya istrinya! Liatin suami saya kayak gitu, tak colok matamu nanti," Gadis itu mengepalkan tangannya garang.

"Wah," komen Gavin pelan. Alina jika cemburu sangatlah badas, ngeri psikopat.

"Aku lanang, Mbak! Astaghfirullah!" Pekik penjual tadi dengan wajah kaget plus nelangsa berat. Alina terdiam.

"Lho? Masak seh? Tak kiro sampean Yanti,  ternyata Yanto, miane ya Mas, Ojo macak ngono, nggarai wong salah paham," ujar Alina sopan, membungkukkan badannya dramatis. Penjual tadi melirik Alina bombastis side eye dengan mulut komat-kamit.

Gavin sudah tertawa keras melihat aksi keduanya. Sepertinya, virus wong jowo ala Langit telah menular ke istrinya. "Oke, tak maapne, soale aku wong apik an og!" Ujar Penjual itu, masih bombastis.

"Asal ndi mas?" Tanya basa-basi. Alina tertawa melihat postur tubuh lelaki kemayu itu yang bahkan jau lebih seksoy daripada dirinya.

"Aku? Bojonegoro, seng daerah kota tapi!" jawab penjual itu, mulai seperti biasa, centil. Masih bombastis namun tidak se-bombastis tadi.

"Lha mbak e asale ndi leh?" Tanya penjual itu, melupakan pesanan Gavin yang saat ini melongo melihat interaksi keduanya. "Bahasa apa anjir?!" Gerutu Gavin pelan.

"Asal mriki to, Halah ndek kene Ki BLA BLA BLA," Gavin diam. Alina jika sudah tetetoet seperti ini tidak akan ada akhir untuk berhenti bicara. Ada saja topik yang muncul. Mungkin karena merasa cocok dengan lawan bicara. Ntah kenapa tiba-tiba istrinya itu bisa bahasa Jawa selancar menghujat dirinya.

"Mas! Mochi saya kapan dibuat?!" Pekik Gavin kesal. Wajahnya garang sekali sekarang, ia hanya menunggu seperti anak ilang melihat Alina dan penjual Mochi itu bicara menggunakan bahasa sipapasipaga.

Alina menoleh kearah Gavin lalu menyengir, "Hehe, sorry ya, lupa aku punya bocil," gadis itu mengelus rambut lebat Gavin, yang ditepis halus oleh lelaki itu.

"Loh? Kenapa?" Tanya Alina heran. Gavin menoleh sinis. "Urus aja suami kamu, tuh!" Lelaki itu menunjuk Damar– si penjual Mochi centil kiw-kiw cukurukug.

GAVINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang