Mama Yena itu pengen punya keluarga bahagia, hangat, dan jauh dari pertengkaran. Karena lahir dari ayah yang suka main tangan dan melihat ibunya terus-terusan sabar dengan semua ketidakadilan itu, Mama Yena benar-benar membekali diri buat selalu bersikap sabar akan kelakuan anak-anaknya.
Dia tahu rasa sakit dan sedihnya seorang anak saat punya ayah yang nggak peduli sama keluarga. Dia juga tahu sakitnya seorang anak melihat ibunya nangis setiap hari karena mau keluarga yang utuh.
Bullshit banget nggak, sih? Menurut Mama Yena, mending pisah aja gitu dibanding terus-terusan menyakiti satu sama lain. Bukan cuma pihak perempuan—di sini sih ibunya ya, tapi anak-anak yang melihat pertengkaran mereka juga jelas kan mentalnya bisa terganggu.
Jadi, saat Papa Yosa melamar, Mama Yena benar-benar menekankan satu hal. "Kalau kamu punya sesuatu yang dirasa nggak nyaman karena aku, saat sudah dalam hubungan nanti sebisa mungkin harus dibicarakan baik-baik. Enggak boleh bertengkar di depan anak-anak. Aku nggak mau anak-anak ngerasain apa yang pernah aku rasain."
Ya, jujur aja, dia masih ada trauma sama perangai cowok-cowok di sekitarnya. Enggak jauh-jauh, bahkan ayahnya sendiri yang sering bersikap seenak sendiri.
Makanya, hidup bareng Papa Yosa itu sebenarnya jadi shock therapy buat Mama Yena. Semuanya beda banget. Perlakuan Papa Yosa ke dia itu bagaikan seorang hamba yang mengabdi pada majikan. Mama Yena diperlakukan bagaikan ratu. Semuanya hati-hati, semuanya serba teliti, dan Papa Yosa melakukan semuanya untuk menunjukkan jika cinta yang dimiliki bukan sekadar omong kosong doang.
Dari yang tinggal di kosan sepetak, mereka akhirnya punya rumah pribadi. Enggak cukup di sana, Papa Yosa bahkan bisa mengembangkan bisnisnya. Dari pedagang asongan jadi usahawan yang ingin diajak kerja sama banyak pihak. Benar-benar perubahan yang menunjukkan usaha untuk membahagiakan sang terkasih.
Kehidupan Mama Yena dan Papa Yosa jelas enggak sedatar itu. Pernah ada pertengkaran juga, apalagi di awal-awal pernikahan. Susah banget dijabarinnya. Bahkan, Mama Yena pernah mau kabur dari rumah saking emosinya, drama banget gitu. Tapi, semuanya berubah saat dokter mengatakan kalau Mama Yena tengah mengandung buah hati mereka.
Kayak api yang kena siram sama air gitu, emosi mereka perlahan mereda dan berganti jadi kebahagiaan melimpah. Papa Yosa sampai nangis saking nggak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa peluk Mama Yena sambil bilang makasih berkali-kali.
"Kalau anak kita lahir nanti, dikasih nama Wicaksana, gimana?"
Saat sibuk menonton bersama dengan Papa Yosa yang mengusap-usap perut bulatnya, Mama Yena berucap. Dia memberikan usulan yang sepertinya sudah hadir dari lama.
"Wicaksana?" tanya Papa Yosa.
"Iya, Wicaksana. Artinya bijaksana." Mama Yena mulai menjelaskan. "Kemarin, kita dapat kabar kedatangannya setelah bertengkar hebat. Dia jadi hakim penuh kebijaksanaan yang menyatukan kita lagi. Aku pengen punya anak yang bisa memiliki tanggung jawab akan pilihan-pilihannya nanti."
"Bagus. Wicaksana."
Saat kelahiran putra pertama mereka, nama Wicaksana benar-benar disematkan. Ryan Marion Wicaksana. Anak sehat dengan manik bulat yang lucu dan kulit seputih susu. Harapan Mama Yena saat melihat anaknya masih sama, kebahagiaan akan terus menyertai Ryan.
"Ganteng, mirip kamu."
"Matanya mirip kamu."
"Hidungnya mirip kamu."
"Bibirnya juga."
"Benar-benar mirip kamu semua."
Kebahagiaan kecil karena kehadiran Wicaksana pertama di keluarga mereka. Baik Papa Yosa maupun Mama Yena, mereka sudah sepakat untuk menumpahkan semua kasih-sayang agar Ryan nggak menyesal terlahir di dunia.
"Lucu kali ya kalau semua anak kita ada nama wicaksananya nanti?"
"Nama kan doa. Enggak lucu kok. Kan mamanya anak-anak mendoakan dengan sepenuh hati agar mereka bisa tumbuh sebagai orang yang bijaksana nantinya."
Dengan persetujuan yang diberikan Papa Yosa, mereka benar-benar menyematkan kata wicaksana untuk hadir dalam doa-doa itu.
Dylan Marion Wicaksana. Jeremy Abimayu Wicaksana. Cakrawala Wicaksana.
Ada empat wicaksana yang mengisi rumah besar mereka. Ada kebahagiaan yang selalu hadir dalam kehidupan mereka. Papa Yosa nggak pernah memberikan tuntutan berlebihan pada anak-anak, begitu pula dengan Mama Yena. Mereka hanya mengharapkan kehidupan bahagia, hangat, dan penuh senyuman. Kekurangan yang dimiliki anggota keluarga juga dipandang sebagai bentuk pelengkap.
Namun, siapa sangka jika penyangga yang begitu kokoh juga dapat dihancurkan?
Ketika Papa Yosa dan Mama Yena berakhir dalam kebahagiaan hingga ujung maut mereka, para wicaksana yang tertinggal belum cukup dewasa untuk dapat memahami segalanya.
Mereka hanyalah anak-anak yang kehilangan arah setelah ditinggal pergi kedua orang tua dalam waktu bersamaan. Anak-anak yang belum dewasa dan bisa melakukan kesalahan kapan pun.
Saat menyadari kekurangan salah satu saudara yang selama ini ditutupi oleh orang tua mereka dengan rapi, tanpa sadar perundungan itu terjadi.
"Jem, lo bodoh banget, sumpah!"
"Ini perkalian sederhana, Jemmy! Ini masih dasar banget!"
"Astaga, rumus bangun datar kayak gini lo nggak tahu? Selama ini lo belajar apa, sih?"
"Jemmy, lo nggak bisa jawab satu pun soal ini? Sumpah lo, Jem?"
"Kakak malu-maluin banget!"
"Jangan sok kenal sama Kala di sekolah! Kala nggak mau punya kakak yang bodoh!"
Kehidupan bahagia yang Mama Yena dan Papa Yosa rancang itu, belum bisa hadir karena terlalu banyak rahasia yang mereka tutupi. Mereka lupa, nggak ada yang sempurna di dunia ini. Termasuk seorang Jeremy Abimayu Wicaksana yang selalu ditutupi kekurangannya dan sekarang harus mulai terbuka.
•
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wicaksana •√
Fanfiction"Apa benar, kalau keberadaan Jemmy tuh cuma buat orang lain sengsara?" "Apa Jemmy nggak bisa menghilangkan kesialan dan menggantinya menjadi keberuntungan?" "Kalau Jemmy bisa membuat mereka bahagia, Jemmy tidak akan menuntut pada Tuhan lagi."