12.

104 19 0
                                    

Tapi, mama kita kan Mama Yena.

—The Wicaksana

Present!


"Kenapa, Kak?"

Ryan yang baru saja selesai menerima telepon itu menoleh. Kala melangkah masuk, duduk di sofa panjang sambil membuat gerakan mengipasi wajah dengan tangan. "Panas banget, gilak!" keluh cowok itu.

"Habis latihan?" Ryan ikut duduk di samping Kala. Dia menyodorkan  minuman yang diambilnya dari kulkas.

"Iya. Buat persiapan, kan mau ada turnamen. Gila, capek banget. Panas juga!"

Ryan mengangguk saja. Dia melihat Kala yang sekali lagi mengipas-kipaskan tangan ke wajah. "Kakak tadi nelpon siapa? Ada masalah?" tanya Kala, balik ke pertanyaannya semula.

"Enggak, itu tadi si Dylan nelpon. Katanya Jemmy pingsan."

Kala mendengkus kecil. Terlihat raut wajahnya yang nggak percaya sama omongan Ryan. "Pasti dia nipu, tuh. Kok bisa pas banget Kak Jemmy pingsan pas Kakak panggil tutor buat dia? Apa namanya kalo nggak cari-cari alasan biar nggak belajar?"

Kalau biasanya, Ryan akan setuju saja sama omongan Kala. Ryan yang melihat Jemmy sebagai anak pemalas dan nggak pernah mau belajar itu, tentu lebih percaya sama omongan kalau Jemmy itu berpura-pura biar nggak perlu berusaha.

Tapi, saat ini Jemmy lagi sama Dylan. Dan Dylan juga sudah ketemu dokter dan memberitahu Ryan hasil pemeriksaannya. Jadi, apa benar kalau Jemmy cuma pura-pura hanya karena nggak mau belajar? Kenapa rasanya pikiran Ryan terlalu dangkal kalau setuju sama kalimat itu?


Jemmy sudah bangun sejak beberapa menit yang lalu. Dokter juga sudah selesai memeriksa dan memberitahu Dylan mengenai kondisi Jemmy saat ini.

Dan sekarang, Jemmy cuma bisa menarik napas pasrah saat Dylan memaksanya makan bubur tanpa rasa. Bubur dari rumah sakit beserta lauknya itu makanan yang ingin Jemmy sumpahi biar bisa berubah jadi makanan enak tapi tetap bergizi.

"Ayo, a lagi."

Jemmy menatap malas sendok yang Dylan arahkan ke mulutnya. Dia berbalik.

"Udah kenyang," jawab Jemmy nggak minat.

"Apaan, baru makan tiga sendok doang." Dylan berucap kesal. Jemmy bisa jadi sangat keras kepala kalau kagi sakit.

"Lo bisa makan dua mangkuk ramen porsi gede, jadi makan bubur segini doang pasti bisa." Untung tadi Dylan sudah tanya-tanya soal Jemmy ke Saka, jadi dia bisa sedikitnya tahu cara biar Jemmy mau menurut.

"Sok tahu. Memangnya Kakak pernah lihat Jemmy makan ramen porsi gede dua mangkuk?" balas Jemmy sengit.

Eh? Benar juga. Dylan mana pernah lihat langsung Jemmy makan sebanyak itu. Apalagi kalau setiap makan bersama, Jemmy itu paling sedikit porsi makannya. Bahkan dengan porsi yang sangat sedikit juga, Jemmy sering menyisakan makanannya.

Dylan selama ini berpikir kalau Jemmy memang jarang makan dan picky eater. Tapi, kalau dipikir lagi, apa benar Jemmy memang begitu?

Saat Dylan nggak sengaja lihat Jemmy dan Saka belanja pun, Jemmy beli banyak camilan. Jemmy suka makanan manis, tapi dia nggak menolak makanan dengan rasa asin dan gurih.

Itu baru soal camilan. Jadi, bisa saja Jemmy memang bukan orang yang pemilih dalam hal makanan?

"Saka yang bilang. Lo kan sering main sama dia. Udah, cepetan a!"

Jemmy mencebik kesal, tapi mulutnya tetap menerima suapan tadi. Mata bulat anak itu menatap Dylan dengan raut yang sulit dibaca.

"A lagi," ucap Dylan.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang