6.

102 17 2
                                    

Lucu, ya? Dia yang dapat semua perhatian, dia juga yang merasa kurang diperhatikan.

-The Wicaksana

Present!

.
.

Jemmy menatap langit-langit ruangan. Tubuhnya telentang di atas ranjang dan dia terlihat memiliki senyum cukup cerah di wajah. Kaki Jemmy nggak berhenti bergerak ke udara terus mendarat di kasur. Rasanya sudah lama sekali dia nggak sebahagia sekarang.

Alasan kenapa Jemmy terlihat sangat bahagia itu sederhana banget. Jelas sekali itu karena dia baru saja menghabiskan waktu dengan Dylan. Dia juga dibela Dylan tadi. Selain itu, Dylan mengakui nilai matematika Jemmy dan mengatakan jika dia akan selalu percaya pada dirinya. Jemmy nggak bisa menahan kegembiraan yang datang bertubi-tubi itu.

Jemmy mengangkat kedua tangan untuk menutupi wajah. Dia merasa malu sekarang. Jemmy memang ingin dekat dengan kakak dan adiknya, tapi dia nggak pernah menduga kalau diperhatikan oleh Dylan akan membuatnya sangat bahagia seperti sekarang. Rasa bahagianya meledak-ledak dan nggak membiarkan Jemmy merasa terbiasa. "Aakkhhh!" Dia berteriak dengan suaranya yang dalam tapi sedikit melengking. "Jemmy senang! Jemmy sangat senang!" Saat kedua tangannya terjatuh dari wajah, senyuman itu lagi-lagi terlihat. Senyuman Jemmy sangat manis membingkai wajah bahagianya.

Jemmy memutar tubuh dan membiarkan wajahnya tenggelam di bantal. Sepertinya dia akan mengeluarkan lebih banyak kehebohan karena nggak bisa menahan rasa bahagia yang terlalu banyak itu.

"What are you doing?"

Jemmy membalik tubuh dengan cepat, menghentikan semua aktivitas yang dilakukannya sedari tadi. Secara refleks tubuhnya terangkat untuk duduk di atas kasur. "Kak Ryan?" Dia bergumam.

"Lo ngapain?" tanya Ryan dingin.

Jemmy menggeleng. Dia nggak tahu harus menjawab apa. Rasanya kalau cerita ke Ryan soal makan siang bareng Dylan tadi tuh terlalu kekanakan. Bisa saja nanti Ryan berpikir kalau Jemmy mendramatisir keadaan atau apalah. Yang pasti, Jemmy nggak tahu harus bereaksi gimana sekarang.

Ryan memutar maniknya, dia jalan ke arah meja belajar Jemmy. Jemmy diam di tempatnya tadi, memperhatikan Ryan dari ekor mata. "Kakak ...."

"Apa?"

Jemmy menggeleng cepat saat Ryan balik menatap ke arahnya. Dia nggak jadi tanya tentang alasan Ryan masuk ke kamarnya.

"Gue denger tadi Dylan dipanggil ke sekolah?"

"Iya," jawab Jemmy pelan.

Ryan mengembuskan napas pelan. Dia sibuk memperhatikan kamar Jemmy sekarang. "Kalau lo butuh guru tambahan, gue bisa panggil buat lo. Atau lo mau pergi ke tempat les?"

Jemmy bergumam nggak jelas dan itu cukup buat bikin Ryan semakin kesal.

"Jem."

"Iya?"

"Kala bilang, alasan Dylan dipanggil ke sekolah itu karena lo nyontek?"

Jemmy menggeleng cepat. Dia nggak nyontek. "Jemmy nggak-"

"Shut up!" seru Ryan. Tangan Ryan sibuk memijat pelipisnya yang lumayan sakit. Pekerjaan di kantor itu melelahkan dan mendengar adiknya mencontek di sekolah membuat Ryan semakin pusing. "Gini deh Jem, kalau lo butuh bantuan buat belajar tuh bilang. Gue nggak bisa setiap saat mastiin lo butuh ini, lo butuh itu. Lo juga bukan anak kecil, Jem. Plis, jangan bikin masalah yang nggak penting."

Jemmy mengangguk lemah. Rasanya dia sudah membuat dosa besar sekarang. Ryan lebih sering berucap dengan suara dingin tapi mengintimidasi dan baru kali ini Jemmy mendengar kakak tertuanya itu sangat putus asa.

"Gue capek, Jemmy. Gue capek banget kalau lo mau tahu. Jadi, plis, jangan buat masalah nggak penting di luar rumah. Paham?"

Jemmy meremas ujung kaosnya. Dia mengangguk, menahan air mata yang menggenang. "Iya, Kak. Jemmy paham." Sebisa mungkin Jemmy nggak membuat suaranya bergetar.

Ryan membuang napas pelan sambil menyugar rambutnya. Dia berjalan keluar kamar Jemmy tanpa menoleh ke belakang.

Jemmy terisak setelah melihat pintu kamarnya tertutup rapat. Segampang itu dia bisa tertawa lepas dan merasa bahagia, dan segampang itu juga Jemmy merasa nggak berguna lahir di dunia. "Maafin Jemmy, Kak." Dia nggak bermaksud membuat Ryan capek. Dia cuma pengen melihat senyuman di wajah saudara-saudaranya.

Jemmy berjalan ke arah meja belajarnya. Dia nggak bisa menyelesaikan apa pun hanya dengan menangis. Kunci dari masalahnya itu belajar. Jemmy harus belajar lebih keras lagi biar nggak dikira menyontek waktu dapat nilai bagus. Tapi, belajar dalam suasana hati buruk itu nggak akan pernah berhasil. Jemmy bahkan nggak bisa baca tulisan di bukunya karena sibuk menangis. Dia hanya membuat kepalanya semakin sakit sekarang.

"Mama, Jemmy harus apa?"

Jemmy meletakkan kepalanya di atas meja dan mulai menangis semakin keras. Dia nggak bisa menyelesaikan apa pun. Dia cuma jadi beban. Pikiran-pikiran buruk itu terus mengusik Jemmy dan membuatnya semakin sulit berkonsentrasi.

.
.

Ryan membuang napas kasar. Dia berjalan dengan langkah besar menuju ruang santai. Dia melihat Dylan yang lagi asik menonton acara memasak dan memilih duduk di sampingnya.

Ryan menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit ruangan. Dia mengembuskan napas kasar. "Capek gue."

Dylan menoleh. Dia menghentikan acara memasak yang tengah ditontonnya. "Kenapa lagi?" tanya Dylan, menyodorkan botol cola yang belum dia buka.

"Lo nggak mau bilang apa-apa ke gue soal dipanggil ke sekolah?" todong Ryan. Dia menatap tajam ke arah Dylan.

"Nggak penting juga, ngapain bilang?" balas Dylan. Dia mendesis pendek. "Capek banget di kantor?" Dengan hati-hati Dylan berusaha mengganti topik pembicaraan.

"Iya, capek banget dan makin capek waktu gue denger berita adek gue nyontek di sekolah. Malu-maluin banget." Ryan berucap kesal.

Dylan menarik napas, kemudian mengeluarkannya pelan-pelan. "Jemmy nggak nyontek, Kak."

"Terus, gimana bisa dia dapet nilai seratus?" seru Ryan.

"Kak, plis." Dylan menggeleng. "Gue tahu lo capek dan butuh pelampiasan, tapi nggak gini caranya."

"Gue nggak nyari tempat pelampiasan!"

Dylan menarik napas panjang, menggeleng tegas pada Ryan. "Terlalu panjang kalau gue kasih tahu ceritanya ke lo. Gue juga tahu, lo nggak mau denger apa-apa selain apa yang mau lo denger sekarang ini. Lo butuh istirahat. Okay?"

Dylan menepuk pundak Ryan dua kali dan berniat beranjak dari tempat duduknya. Dia sibuk membereskan peralatannya saat suara Ryan terdengar. "Gue mau panggilin guru les buat Jemmy."

Gerakan Dylan sempat terhenti sesaat. Ada perasaan nggak senang dan nggak setuju dengan keputusan yang Ryan ambil. Dylan hanya merasa itu nggak benar dengan melihat kondisi Jemmy. Setelah melihat Jemmy yang bisa menyerap pelajaran dengan baik saat belajar dengan Saka, Dylan pikir yang Jemmy butuhkan itu bukan waktu tambahan untuk belajar.

"Gue udah bilang ke dia. Dibanding nyontek, mending dia belajar lagi."

"Terserah lo aja. Emang gue bisa apa kalau lo sudah memutuskan?" balas Dylan. Dia sedang malas berdebat dengan Ryan sekarang, apalagi saat Ryan sedang lelah seperti sekarang. Perdebatan mereka cuma akan menambah masalah, bukan menyelesaikannya. Dylan juga capek.

"Tapi, gue mau ngingetin aja, Jemmy bukan anak yang bodoh. Lo juga tahu itu, 'kan?"

Jemmy pernah duduk di peringkat sepuluh besar. Jemmy pernah menjadi siswa yang cukup cemerlang. Jemmy pernah menjadi bagian dari kebanggaan para guru. Dulu, saat Mama Yena masih ada di dunia.

"Lo mau bilang apa?"

Dylan menggeleng. "Nggak ada." Karen Dylan sendiri nggak terlalu dekat dengan Jemmy. Dia nggak juga nggak tahu harus bersikap bagaimana.

Mereka hanya terlalu bingung menyikapi satu sama lain setelah kepergian orang tua mereka. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, mereka kehilangan arah. Terlalu bingung untuk menentukan keputusan.

...

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang