1.

150 20 0
                                    

Tanpa disadari, manusia terbiasa hidup di masa lalu mereka karena terlalu takut membuka lembaran yang baru.

—The Wicaksana

...
Present by
cikinini
...

The Wicaksana

...

Suara bantingan pintu mengundang perhatian dari Dylan dan Ryan yang sedang asik membicarakan program studi Dylan. Ryan mengernyit sebentar, lalu mendengkus ketika menyadari kemungkinan Kala yang baru saja pulang sedang dalam suasana hati buruk.

"Lo apa gue, nih?" tanya Ryan, mulai terbiasa dengan keadaan rumah mereka yang nggak bisa lepas dari keributan setiap harinya.

Belum sempat Dylan menjawab, dari pintu utama menampilkan sosok Jemmy yang berlari terengah. "Kak, Kala mana?"

"Di kamarnya." Ryan menjawab abai. "Kenapa lagi? Lo ngapain tadi?"

Jemmy masih berusaha mengatur napas, sedangkan Ryan dan Dylan menantikan jawaban darinya. "Itu ... tadi, Pak Bagas bilang kalau ...."

"Nilai lo jelek lagi? Terlalu biasa kalau itu mah," potong Ryan, nggak membiarkan Jemmy menyelesaikan kalimatnya.

Jemmy mengangguk. "Dan, kalau nggak ada peningkatan dalam waktu dua bulan ini, Jemmy akan tinggal kelas lagi."

"Astaga, Jem! Pantes Kala marah!" seru Ryan, terlalu pusing menghadapi Jemmy yang selalu gagal dalam bidang akademik. "Udah deh, Dy. Lo aja yang bujuk Kala. Gue pusing banget. Udah mah urusan kantor banyak!"

"Kak, Jemmy minta ma—"

"Percuma, Jem!" Ryan memotong kesal. "Tiap kali ada pembagian nilai ulangan, rapor, dan segalanya, lo minta maaf terus. Gue tuh nggak ngerti, kenapa anak kayak lo malah yang jadi kesayangan papa dan mama dulu?"

Dylan mendesis pendek, sedikit menekan pundak Ryan. Dia menggeleng ketika tatapan mereka bertemu, seperti memberi tahu jika Ryan harus berhenti sebelum melewati batas.

"Apa?" Ryan yang terlalu emosi sepertinya nggak bisa menangkap sinyal dari Dylan.

"Kayaknya lo mesti stop di sini deh, Kak. Gue samperin Kala dulu." Dylan menjelaskan, kembali menekan bahu kakaknya sebelum beranjak.

Jemmy sendiri masih berdiri di tempat. Napasnya mulai teratur, tapi dia masih nggak berani mengangkat kepala. Amarah Ryan jelas mengusik pikirannya.

"Ngapain masih berdiri di situ?" seru Ryan, mendelik kesal. "Lo mau jadi patung? Masuk kamar sana!"

Tanpa ba-bi-bu, Jemmy segera membawa kakinya untuk pergi ke kamar. Dia mengunci pintu dari dalam dan mulai mengeluarkan satu per satu bukunya dari tas. Seperti orang yang panik, Jemmy mulai membaca deretan huruf dan angka yang tertera di sana.

"Simple present test itu ... apa? Tadi Bu Alvi bilang apa? Jemmy nggak ingat!" Jemmy memukul-mukul kepalanya karena terlalu panik. Dia bahkan nggak ingat tentang catatan kecil di bukunya sendiri. "Rumus ... Jemmy nggak inget rumus mencari sin gimana. Gimana, nih? Jemmy nggak inget apa-apa." Rasa panik itu semakin menyerbu dan membuatnya nggak bisa berpikir jernih.

Semakin banyak yang ingin Jemmy ingat, maka semakin sering rasa sakit menusuk kepalanya.

Jemmy meremas rambutnya kuat, menahan diri agar nggak jedotin kepala ke dinding. Rasa muak membuatnya melakukan sesuatu di luar nalar tanpa dapat dicegah. Setelah kepergian Papa Yosa dan Mama Yena, Jemmy jadi sering nyakitin diri sendiri waktu cemas.

Dulu, Jemmy punya tempat bersandar. Dia bisa berbagi semua beban ke mama dan papa. Sekarang, Jemmy bahkan nggak berani membuka suara kalau nggak diminta.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang