13.

71 12 0
                                    

Kalau temboknya ditarik tiba-tiba, gimana bisa siap?

—The Wicaksana

Present!


Pada akhirnya, Jemmy bisa pulang setelah infusnya habis, itu pun dia harus melewati pertikaian pendek sama Dylan dulu.

Dylan maunya Jemmy dirawat dan diamati sama dokter, minimal semalaman saja. Tapi, Jemmy nggak mau. Dan mamanya Saka juga bantuin Jemmy ngeyakinin Dylan, jadi mau nggak mau Dylan akhirnya setuju buat bawa Jemmy pulang. Tentu saja Dylan nggak setuju begitu saja, dia memberi syarat kalau besok Jemmy harus izin sakit.

Setelah mengurusi administrasi, Dylan balik ke kamar rawat Jemmy, tapi belum juga dia masuk, Dylan menghentikan langkah.

Di dalam sana, Jemmy lagi pelukan sama mamanya Saka. Jemmy naruh kepalanya di perut Mama Saka dengan kedua tangan yang melingkari pinggang. Dylan juga bisa melihat kalau Mama Saka ngusap-usap puncak kepala Jemmy dengan lembut.

"Jeremy pasti capek banget. Kalau capek, jangan lupa istirahat, ya?"

Suara Mama Saka memang pelan, tapi dari jaraknya sekarang, masih cukup buat Dylan dengar apa yang Mama Saka ucapkan.

"Kalau Jemmy maksain diri terus, bukan Saka aja yang sedih. Mama juga, Mama akan sedih."

"Mama nggak boleh sedih."

"Makanya, jangan maksain diri, ya? Kamu udah cukup berusaha selama ini. Jangan sakit-sakit lagi, Jemmy." Mama Saka mengecup kening Jemmy dengan lembut.

Jemmy nggak menjawab. Dia memilih untuk membisu dan tetap memeluk erat pinggang Mama Saka. Dan Dylan bingung memilih waktu yang tepat untuk masuk ke lingkaran keduanya.


"Lo deket banget, ya, sama mamanya Saka?"

Dari tadi Dylan sudah berusaha buat nggak tanya. Bahkan saat Jemmy dan Mama Saka pelukan waktu mereka pisah, Dylan juga nggak komentar apa-apa.

Tapi, karena suasana canggung di antara mereka saat berada dalam mobil dan keterdiaman satu sama lain, Dylan jadi kepikiran lagi. Dylan nggak bisa nahan diri buat nggak tanya.

Apa Jemmy sedekat itu sama keluarganya Saka? Seberapa dekat sampai mamanya Saka bisa senatural itu dan Jemmy juga nggak canggung waktu terima semua perlakuannya. Sudah seperti keluarga.

Dan sekali lagi, Dylan nggak suka. Dylan merasa terusik sama interaksi yang mereka buat.

"Iya."

"Kok bisa?" Karena jawaban Jemmy sangat singkat, Dylan nyoba peruntungan dengan tanya lebih jauh lagi.

"Ya, kenapa nggak bisa? Mama yang rawat aku waktu kecil."

"Kenapa juga lo panggil mamanya Saka, mama?" Dylan beneran terusik sama panggilan itu. "Mama cuma ada satu, Mama Yena aja." Dylan menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. Dia berharap akan ada jawaban dari pertanyaan yang mengusiknya sedari tadi.

"...."

Tapi Jemmy membisu.

"Gue tanya sama lo, Jeremy!" tekan Dylan saat Jemmy nggak juga menjawab.

Jemmy tetap bergeming. Tatapan cowok itu beralih keluar jendela. "Kakak bilang Jemmy harus istirahat. Kalau tahu Kak Dylan bakalan kayak gini, mending Jemmy pulang sama Mama aja tadi."

Hati Dylan mencelos. Bahkan Jemmy terang-terangan menunjukkan kalau dia nggak terusik sama perasaan Dylan. Dia nggak mau menyesuaikan diri lagi.

Bukan itu yang Dylan mau. Dylan nggak ingin pertentangan dari Jemmy. Dylan juga nggak ingin merusak suasana hati Jemmy, apalagi membebani pikiran adiknya itu. Dylan hanya ingin mendapatkan jawaban akan kejanggalan yang sedari tadi dia rasakan.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang