Bisa diem, nggak? Gue capek!
—The Wicaksana
Present!
•
"Lo hari ini cuti, 'kan?"Biasanya Ryan paling anti buat diam di rumah saja. Dia nggak suka menghabiskan waktu tanpa bekerja. Bekerja itu obat paling pas buat Ryan mengalihkan emosinya selama ini. Tapi, ada karena ada kecelakaan di kantornya beberapa hari lalu, Ryan saat ini cuma bisa kerja dari rumah—karena paksaan dari sekretarisnya. Mungkin sekretaris Ryan sudah capek lihat bosnya yang overworked.
"Iya, gue di rumah. Nih, sambil ngerjain dokumen kerja sama."
Setelah menatap sebentar wajah Dylan yang berdiri di depan pintu, Ryan balik lagi buat fokus sama laptopnya. Ada banyak kerjaan yang nggak bisa dikesampingkan, karena meskipun dibilang cuti, Ryan aslinya masih tetap kerja.
"Oh, ya udah. Gue mau pergi ke resto sebentar. Kala juga udah berangkat sekolah tadi."
"Terus?"
Dylan menggaruk tengkuknya. Dia tahu kalau Ryan masih sensi tiap kali ngomongin Jemmy, tapi mau nggak mau Dylan harus minta tolong sama Ryan.
"Nanti cek-in Jemmy, ya?"
"Cek-in?"
"Iya. Cek-in," balas Dylan. "Gue udah sita hape sama bukunya, jadi dia paling cuma tiduran di kasur. Jangan dimarahin, gue sengaja biar dia bisa istirahat total."
"Hm."
Ryan nggak terlihat tertarik sama arah omongan mereka. Dia masih sibuk mengetik sambil sesekali mengecek email yang masuk. "Ada lagi, nggak?" tanya Ryan karena Dylan sudah berhenti bicara tapi nggak juga pergi.
"Pastiin Jemmy makan siang dan minum obatnya," ucap Dylan. "Kalau bisa, tolong lo cek ke kamarnya sebentar. Gue takut kalau dia tantrum lagi."
Jari Ryan terhenti di udara. "Tantrum?" tanyanya.
Dylan menarik napas panjang. "Gue nggak cerita ke lo kemarin karena takut lo kepikiran. Lo udah capek juga. Tapi, lo kan kepala keluarganya."
"Terus?" Ryan memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
Masalah kantor. Masalah sekolah Jemmy. Jangan bilang, sekarang Ryan juga harus mikirin mental adiknya?
Ryan capek banget, jujur.
"Jemmy kemarin tantrum, dua kali." Dylan mendesis pendek. "Gue belum tahu pemicunya apa. Tapi, yang pertama dia bilang mimpiin Mama dan yang kedua waktu kita pergi ke—"
"Hah! Terus, lo mau gue mastiin dia nggak tantrum, gitu?"
"Yan ...."
Ryan berdecak keras. Pikirannya jadi nggak karuan. "Ya udah. Entar gue cek tuh anak."
"Yan, jangan terlalu marah sama Jemmy. I think it's not his fault that—"
"So, is it me? Itu salah gue, gitu?"
Ah, kacau sudah!
"Lo nggak lagi stabil. Kita ngomong lagi kalau lo udah nggak capek," ucap Dylan. "Just ... please, check Jemmy's condition for once at least. Don't let him hurt himself."
"Hm."
Dylan menutup pintu kamar Ryan. Tadinya dia mau di rumah saja. Dia mau melihat perkembangan Jemmy dan meyakinkan diri kalau bawa adiknya pulang itu pilihan terbaik. Tapi, Dylan punya tanggung jawab akan pekerjaannya dan dia nggak bisa angkat tangan begitu saja.
Dylan ragu.
Apa benar, ninggalin Jemmy sama Ryan itu pilihan yang tepat?
Terlebih, Ryan dan emosinya yang meledak-ledak itu terasa nggak cocok buat disandingkan dengan Jemmy yang mentally unstable.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wicaksana •√
Fanfiction"Apa benar, kalau keberadaan Jemmy tuh cuma buat orang lain sengsara?" "Apa Jemmy nggak bisa menghilangkan kesialan dan menggantinya menjadi keberuntungan?" "Kalau Jemmy bisa membuat mereka bahagia, Jemmy tidak akan menuntut pada Tuhan lagi."