3.

91 20 1
                                    

Terus, kamu maunya gimana?

—The Wicaksana

Present!

.
.

"Jemmy masih di kamar?"

Dylan mendongak, melihat ke arah tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Jemmy memang biasa berdiam di kamar setiap jam makan malam sampai pagi, melewatkan waktu bersama keluarga.

Dylan pikir, adiknya terlalu terang-terangan menjauhi mereka dan membuat batasan yang nggak boleh dilewati orang lain. Terlebih, kamar Jemmy juga satu-satunya ruangan yang kedap suara di rumah mereka.

Saat menoleh ke arah Kala, terlihat jelas raut nggak suka di wajah adiknya. Kalau Ryan, dia hanya berdeham pelan setelah menelan makanan.

"Dia pergi." Ryan angkat suara.

"Hm?"

"Ke rumah Saka. Mau main, sekalian nginep." Dia menjelaskan lebih jauh saat raut bingung tercetak jelas di wajah Dylan.

"Oh."

"Udah bodoh, bukannya belajar malah main! Nyusah-nyusahin Bang Saka banget, sih! Kak Jemmy maunya apa?" gerutu Kala.

"Mau bikin Saka jadi bodoh kayak dia kali," celetuk Ryan.

Dylan sendiri hanya diam dan meneruskan acara makannya. Dia menjadi orang pertama yang menyelesaikan makan malam. Setelah mencuci piring dan peralatan masak yang ia gunakan tadi, Dylan kembali ke ruang makan.

"Gue mau keluar sebentar."

"Ngapain?" tanya Ryan, mendongak untuk melihat wajah datar yang selalu menjadi andalan Dylan. "Mau beli camilan, ya? Nitip sekalian dong. Di ruang kerja gue juga habis tuh."

"Okay."

"Kak! Kala juga, ya?"

"Hm."

Dylan memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. Jalanan di daerah kompleks mereka memang nggak pernah sepi. Banyak cowok-cowok yang nongkrong di pos ronda sambil memainkan gitar dan menyanyi. Lalu, nggak jarang juga mereka digusur sama orang tua yang merasa terganggu, tapi habis itu besoknya balik lagi ke sana buat bikin konser dadakan. Bebal memang.

Dari rumah Wicaksana, kalau keluar terus belok ke kanan dan berjalan lurus sekitar seratus meter itu ada minimarket. Biasanya Dylan yang paling sering keluar buat belanja dan yang lain tinggal titip kayak tadi. Di rumah mereka, Dylan itu sudah seperti ibu pengganti. Tiap Mama Yena pergi atau ada urusan, dia yang memegang kendali atas dapur dan keuangan.

Dylan merapatkan jaket yang sempat dia ambil sebelum keluar rumah tadi. Jam enam gini, biasanya sih masih cukup sepi buat orang-orang bergerombol di minimarket. Tapi, tatapan Dylan terhenti di satu titik.

"Jemmy mau ini, Saka. Boleh, ya? Boleh, 'kan?"

"Hm."

"Kalau yang ini, boleh?"

"Iya."

"Mau yang ini juga. Beliin, ya?"

"Iya, Jeremy, iya. Ambil aja, cepet. Capek gue kalau lo harus minta izin satu per satu." Saka mendengkus pelan, sedangkan Jemmy malah menyengir lebar.

"Takutnya kan uang kamu nggak cukup buat beli yang Jemmy ambil."

"Wooo! Enak aja bilang duit gue nggak cukup!" seru Saka, nggak terima.

Tawa Jemmy kembali terdengar, cukup keras buat Dylan bisa merasakan kalau adiknya sedang dalam suasana hati yang baik. Jemmy nggak terlihat seperti Jemmy yang Dylan kenal selama ini, selalu menunduk dan takut berbicara dengan lawannya.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang