15.

89 15 0
                                    

Jujur, siapa, sih, yang nggak muak sama situasi sekarang?

—The Wicaksana

Present!


Ryan Marion Wicaksana.

Meski terlahir sebagai anak pertama, Ryan belum pernah dengar kalimat, "Kamu itu Kakak, harus bisa sayang sama adek," dari papa ataupun mamanya.

Papa nggak pernah maksa Ryan ngelakuin sesuatu yang nggak dia suka, pun dengan Mama. Papa nggak memaksa Ryan buat jadi sesuatu atau seseorang di masa depan, karena baik Papa maupun Mama, mereka setuju bahwa anak-anak akan memiliki mimpinya sendiri. Dan tugas orang tua hanyalah mengarahkan dan memberikan nasihat yang diperlukan.

Papa memiliki perusahaan besar yang dirintis dari nol—atau malah harus Ryan sebut sebagai minus. Papa mengambil resiko dengan meminjam uang pada bank dan membangun bisnisnya sendiri.

Banyak yang meragukan usaha Papa. Enggak sedikit juga yang mencemooh, mengatakan bahwa Papa terlalu percaya diri dengan sedikit kecerdasan yang beliau miliki. Malahan, Ryan kecil dulu pernah mendengar kalau Papa itu baru bisa sadar kalau usahanya bangkrut nanti.

Tapi, sedikitpun Ryan nggak pernah melihat Papa berkecil hati. Papa bisa tersenyum sambil menegakkan bahu. Tatapannya lurus, nggak goyah sama sekali dengan omongan busuk yang orang lain berikan. Sebaliknya, Papa malah menasehati Ryan, "Namanya juga manusia, banyak yang iri karena mereka aslinya juga ingin melakukannya. Mereka mau melakukan usaha serupa, tapi terlalu takut buat resikonya. Ryan, Papa nggak maksa kamu buat jadi apa atau siapa. Papa minta satu hal sama Ryan saja, boleh?"

Ryan kecil yang nggak paham sama omongan papanya hanya bisa bertanya, "Papa mau minta apa sama Iyan?"

Papa tersenyum, mengusap rambut Ryan yang sudah cukup panjang untuk dicukur. Papa nggak langsung ngomong, dan matanya yang sayu itu membuat Ryan bertanya-tanya.

Apa yang mau Papa minta dari anak empat tahun sepertinya?

"Kalau kamu ingin menjadi sesuatu atau seseorang, kamu harus siap dengan tanggung jawab di dalamnya. Paham?"

Ryan bingung. Kepala kecilnya nggak tahu sama apa yang diomongin Papa. Tapi, Ryan yakin jika omongan Papa pasti berarti baik dan keren. Jadi, Ryan dengan semangat menjawab kalau dia paham dan bahkan memberikan senyuman lebar.

He just four and didn't know what they talked about.

Usaha Papa berkembang, walau nggak bisa dibilang langsung pesat karena Papa sendiri lebih suka kalau apa yang dia rintis berjalan dengan pelan tapi pasti.

Papa nggak langsung rekrut banyak pegawai baru saat kantor mulai hectic, sebaliknya, Papa membuat keadaan di mana produk dari kantornya terlihat sangat diminati sampai-sampai hanya orang tertentu yang bisa akses. Sebuah langkah yang sekali lagi sangat menantang, tapi akan sangat memuaskan hasilnya jika berhasil.

Sepertinya Dewi Fortuna berteman dengan Papa pada masa-masa itu, semua berjalan lancar. Semuanya sangat manis. Apa yang Papa rencanakan berbuah hasil, tanpa terkecuali. Perhitungan, prediksi, apa pun itu nggak ada yang meleset. Kantor Papa semakin banyak peminat dan investor berdatangan dari banyak arah.

Dan tahun itu, saat Ryan berusia delapan dan Dylan tujuh tahun, Jemmy lahir. Jeremy Abimayu Wicaksana, seakan-akan menjadi bukti kuat jika Papa adalah sosok yang berhasil akan segalanya.

Semuanya berjalan dengan sangat damai, hingga patut dicurigai. Tercium aroma badai di tengah sepoi angin musim semi.

Ryan melihat Mama yang mulai berubah di tengah keberhasilan Papa. Badai kecil muncul di rumah mereka.


"Jem! Bangun, woi, lo kan mesti makan sama minum obat!"

Ryan berdecak sebal. Sudah lima menit dia berdiri di samping ranjang adiknya, mencoba membangunkan pemilik kamar. Dari menoel-noel lengan, memberi tepukan lembut sambil panggil nama Jemmy, sampai menepuk kasar sisi ranjang. Tapi hasilnya masih nihil.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang