Paling nggak, kamu harus menghargai usahamu sendiri!
—The Wicaksana
Present!
.
."Nah, itu bisa!"
Jemmy membulatkan mata, menatap pada Saka dan terlihat nggak cukup yakin dengan omongan cowok tadi. "Ini bener?"
"Iya."
"Ini tadi aku ngerjain sendiri, 'kan? Enggak dibantuin kamu, 'kan?" Jemmy mengedipkan mata, dia bergantian menatap ke arah kertas dan wajah Saka. Masih terlihat nggak cukup yakin kalau sepuluh soal yang ada di buku dia sendiri yang mengerjakan.
"Iya, Jeremy." Saka membalas malas, dia juga menguap dengan tangan kanan menutupi mulut. "Udah jam setengah sebelas, nih, ayo tidur."
"Satu soal lagi boleh, nggak? Biar lebih yakin kalau aku yang ngerjain sepuluh soal tadi."
"Gue bilang tidur, ya tidur!" tekan Saka, nggak mau dibantah. "Otak lo butuh istirahat, jangan dipaksa kerja terus. Lagian, lo juga udah paham konsepnya kok, cuma butuh konsentrasi biar nggak buyar."
Kedua tangan Jemmy tertangkup di depan dada. Mata bulat itu mencoba menatap manik Saka walau terlihat ragu-ragu. "Sekali lagi, ya? Saka, plis!" Jemmy memohon dengan suara yang sangat lirih.
"Eh?"
Jemmy mengedip. Dia menunduk, lalu kembali mendongak. Wajahnya terlihat kebingungan, terlebih saat melihat wajah panik Saka.
Saka berdecak kesal sambil berusaha menggapai tisu dari rak yang berada di dekat tubuhnya. Dia bergerak cukup cepat dan terkesan tegas. Matanya menatap garang saat Jemmy mencoba membuka mulut. Saka terlihat sedang sangat kesal sekarang.
"Saka, pelan-pelan. Aduh, sakit!" Jemmy mengaduh, terlebih saat Saka menekan hidungnya kasar.
"Lo, tuh!" Saka menahan kalimatnya, dia menggeram. Jelas sekali kalau cowok itu tengah khawatir sekarang. Tapi, alih-alih mengomeli Jemmy, Saka memilih buat membalik tubuh setelah membuang kasar tisu tadi ke pangkuan Jemmy. "Tidur!" Dia kembali pada keputusan awalnya.
"Satu soal—"
"Jeremy, lo tuh paham nggak, sih? Tubuh lo nggak kuat kalo diajak kerja berlebihan." Saka balik menatap Jemmy dan sedikit membentak. "Kalau sama tubuh lo aja, lo egois, gimana lo bisa mendapatkan sesuatu yang lo inginkan? Orang-orang nggak akan menghargai apa yang lo raih dengan cara egois seperti sekarang!"
Saka tahu kalau dia menjadi berlebihan dengan memarahi Jemmy. Tapi, dia juga nggak mau kalau Jemmy terlalu memaksakan diri. Dia nggak mau melihat Jemmy mimisan kayak tadi lagi. Saka cuma terlalu khawatir sama temannya yang keras kepala itu.
Saka yang biasanya nggak banyak bicara, tiba-tiba malah mengeluarkan banyak kata karena terlalu cemas. Wajahnya mengeras dan dia mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Saka beneran marah sekarang.
"Tapi, Saka ...."
Tapi, kayaknya Jemmy nggak cukup pintar buat menilai situasi. Dia masih memiliki tenaga untuk mencoba membantah meskipun tubuhnya mulai menggigil karena takut. Jujur saja, Saka menjadi sangat mengerikan di mata Jemmy sekarang.
"Kalau lo nggak mau tidur, pulang aja sana! Gue mau tidur." Saka berucap ketus, memotong kalimat Jemmy. Tanpa mau mendengarkan alasan lain, dia langsung naik ke kasur.
Jemmy bergumam pelan, "Saka ...." Dia memanggil nama Saka karena nggak mau kalau mereka harus mengakhiri hari dengan pertengkaran.
Jemmy berdiri dan menjatuhkan tisu bekas membersihkan darah tadi, dia berjalan pelan. Jemmy jongkok di samping ranjang Saka. Telunjuknya terulur dan dia mulai menekan-nekan kulit lengan tangan kanan Saka. "Saka, aku minta maaf. Aku ngaku salah, Saka." Jemmy menatap penuh harap ke arah Saka. "Maafin Jemmy, ya? Jemmy juga tidur nih sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wicaksana •√
Fanfiction"Apa benar, kalau keberadaan Jemmy tuh cuma buat orang lain sengsara?" "Apa Jemmy nggak bisa menghilangkan kesialan dan menggantinya menjadi keberuntungan?" "Kalau Jemmy bisa membuat mereka bahagia, Jemmy tidak akan menuntut pada Tuhan lagi."