17.

61 11 0
                                    

"Kalaupun bisa diputar, aku tetap akan memilih jalan yang sama."

—The Wicaksana

Present!


Kamar Jemmy memang jarang dikunci dari dalam. Kalaupun Jemmy menguncinya, dia akan membuka lagi pintu itu kalau mau tidur. Seperti sebuah kebiasaan dan keharusan. Jadi, saat Dylan datang dan mau masuk sekalipun, pintu Jemmy memang sudah terbuka.

Meski begitu, Dylan tetap mengetuk pintu untuk mengambil atensi Jemmy yang sedang sibuk menulis. Jemmy mendongak, menatap ke arah Dylan yang berjalan ke arahnya.

"Saka habis ke sini, ya?" tanya Dylan, berbasa-basi. Sebenarnya dia yang meminta Saka datang dan menemani Jemmy. Walau Dylan juga tahu, Saka pasti akan tetap datang tanpa dia minta sekalipun.

"Iya. Dia pinjemin catatannya buat Jemmy," balas Jemmy cukup panjang. Dylan melirik buku di atas meja, membuat Jemmy buru-buru menambahkan, "Jemmy nggak lagi belajar, cuma nyalin catetan aja."

"Gue nggak mau marah ataupun ngelarang?" Dylan menaikkan sebelah alisnya.

"Iya, Jemmy cuma ngasih tahu," balas Jemmy lagi.

Dylan berdeham. Tangannya merogoh saku, mengambil ponsel Jemmy dari sana. Dia meletakkan ponsel itu di meja belajar, dekat dengan buku-buku di sana. "Gue balikin," ucapnya, "karena lo udah istirahat total hari ini."

Jemmy menatap lama ponselnya. Dia hanya mengangguk, nggak memberikan kata terima kasih pada Dylan. Bagi Jemmy, sudah semestinya ponsel itu kembali padanya.

"Kak Dylan ...." Dylan menatap lurus ke arah Jemmy. "Maaf."

"Buat?"

"Karena Jemmy marah-marah ke Kakak kemarin. Padahal Kak Dylan nggak salah apa-apa."

Dylan menelan ludahnya. "Lo juga nggak salah apa-apa, kok," balas Dylan. "Maybe, I crossed the line."

"No, Kak Dylan didn't!" Jemmy menolak mentah-mentah kalimat itu. Dia merasa kalau Dylan hanya berusaha menjadi lebih dekat, tapi Jemmy malah mendorong Dylan menjauh.

Padahal selama ini Jemmy yang berharap dapat lebih dekat dengan keluarganya. Tapi, saat dia diberi kesempatan, Jemmy malah menggambar tembok baru untuk mereka. Dylan nggak salah. Hanya saja, Jemmy yang belum siap sama perubahan kecil apa pun itu.

Dylan tersenyum ke arah Jemmy. "Ya udah, berarti sama-sama nggak ada yang salah, ya?"

Jemmy mengangguk kecil.

Dylan mengangkat tangan. Dia berpikir, apa dia harus mengelus rambut Jemmy? Kayaknya Jemmy suka sama elusan di kepala. Tapi, mereka juga baru mulai dekat dan mungkin Jemmy nggak akan suka jika dia yang melakukannya.

"May I?"

"Hm?" Jemmy menatap bingung ke arah Dylan. "Kenapa, Kak?"

"Gue mau ngelus kepala lo, kayak yang mama Saka lakuin kemarin." Dylan memberanikan diri buat bertanya. Kalaupun ditolak, minimal dia sudah berusaha dan nggak memaksakan kehendak.

Jemmy memajukan kursi. Dia memeluk perut Dylan.

"Jem?"

"Katanya mau elus kepala Jemmy? Kan biar enak," balas Jemmy.

Kedua sudut bibir Dylan nggak bisa tertahan lagi, tertarik ke atas. Dylan mengusap-usap rambut Jemmy, menerima pelukan dari adiknya yang semakin erat itu.

Oh, jadi begini, ya, rasanya?

Pantes, mamanya Saka suka elus-elus rambutnya Jemmy. Jemmy sudah besar, tapi anehnya Dylan nggak risi sama interaksi mereka saat ini.

"Jem, May I ask you something?"

"Hm? Kak Dylan mau tanya apa?"

"Wait a second, let me prepare myself."

Jemmy mendongak. Padahal dia sudah memberikan izin, tapi sepertinya pertanyaan yang ingin Dylan berikan itu sangat sulit. Jemmy jadi menebak-nebak, ke mana arah pembicaraan Dylan akan berlanjut.

"Kak?"

Meski sudah bermenit-menit terlewati, Dylan nggak juga bertanya. Mulutnya beberapa kali terbuka, tapi suara Dylan tertahan di ujung lidah. Jemmy jadi gugup sendiri. Dylan mau tanya soal apa, sih?

"Kak Dylan jadi tanya, nggak?" Jemmy berusaha mengejar agar Dylan segera membuat keputusan apakah pertanyaan itu perlu dikeluarkan atau nggak.

"Kayaknya lain kali aja, deh, Jem," ucap Dylan pada akhirnya. "Ada banyak waktu dan kesempatan buat ngomongin ini."

Jemmy menatap mata Dylan dengan lekat. Pelukan mereka sudah sedari tadi terlepas sejak Dylan terlalu lama memutuskan untuk bertanya atau enggak.

"Is it about the accident day?" tembak Jemmy.

Dylan membeku.

"What do you mean?"

Suara Dylan terdengar gagap. Jemmy tersenyum, sepertinya tebakannya benar.

"Your question."

"Jem, kita bisa bahas ini lain kali." Dengan kalimat yang Dylan berikan, Jemmy jadi semakin yakin sama pikirannya sendiri.

"Kak, anything you want to ask me, I have one thing to tell you."

Jemmy nggak takut sama hari itu. Jemmy memang punya banyak kenangan buruk yang terus memburunya, tapi dia nggak pernah menyesali satu pun yang terjadi hari itu. Walau dia kesulitan mengatasinya sendiri, tapi Jemmy nggak pernah merasa kalau dia harus dikasihani sama orang lain. Cukup dirinya sendiri. Jemmy nggak butuh tatapan bersalah yang nggak penting dari orang-orang yang nggak bersangkutan.

"Kalaupun Jemmy bisa memutar waktu, Jemmy pasti akan milih keputusan yang sama. I never regret it." Jemmy tersenyum dengan wajah yang terlihat lega.

Sejak datang ke penyimpanan abu, Jemmy perlahan mengingat semua yang terjadi. Jemmy tahu apa yang salah pada dirinya. Jemmy yang dulu cuma bisa menyalahkan diri, sekarang dia paham jika semua itu merupakan bentuk dari usaha yang otaknya lakukan untuk melindungi diri.

"Did you ever hate our mother?"

Dylan tahu kalau pertanyaannya mungkin terdengar konyol. Tapi Dylan ingin tahu perasaan Jemmy yang sebenarnya.

"Never," jawab Jemmy. "I never hate Mama Yena."

Jawaban Jemmy mengundang air mata Dylan untuk berlomba-lomba turun.

"What about Papa?"

Jemmy tersenyum mendengar pertanyaan yang Dylan berikan. Dia menggeleng. Rasa benci itu, sekalipun nggak pernah hadir di diri Jemmy.

Jemmy mungkin merasa kasihan pada dirinya sendiri di masa lalu, tapi dia nggak mau orang lain ikut mengasihani dirinya.

"Memangnya, Papa Yosa bisa apa? Papa Yosa nggak salah. Papa Yosa sudah berusaha bahkan melebihi apa yang Papa Yosa bisa."

Padahal, setelah mendengarkan cerita dari Nyonya Sarah, Dylan sangat marah. Dylan merasa mama dan papanya sudah sangat keterlaluan. Apa pun alasan yang mau mama dan papa gunakan, Dylan merasa jika dia nggak akan bisa memaafkan mereka.

Tapi, Jemmy malah mengatakan sesuatu yang berkebalikan. Jemmy bilang kalau dia nggak pernah benci mama ataupun papa. Walau Jemmy nggak memanggil orang tua mereka dengan benar, tapi Jemmy mempunyai cintanya sendiri untuk papa dan mama mereka.

"It's okay, Kak. Mama Yena nggak salah. Papa Yosa juga. Semuanya terjadi bukan karena ada yang salah."

Tangisan Dylan menjadi lebih kencang dari sebelumnya. Jemmy beranjak dari kursi. Saat ini, Dylan hanya butuh pelukan. Jemmy nggak memberikan kata-kata penenang apa pun dan hanya memeluk kakaknya yang semakin keras menangis.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang