8.

115 18 0
                                    

Waktu itu hujan turun dengan sangat derasnya. Suara-suara terdengar sangat menakutkan di telinga. Angin bergerak liar dan kilat menyambar-nyambar. Jemmy yang baru berusia lima tahun berjalan pelan menuju kamar kedua orang tuanya. Meskipun rasa takut menguasai diri, Jemmy berusaha keras buat bisa mencapai pintu besar di depan matanya.

Tangan kecil Jemmy terkepal. Ketukan pelan ia berikan pada pintu kamar orang tuanya.

"Mah, Jemmy takut tidul sendili. Jemmy tidul sama Mama, ya?"

Sama sekali nggak ada jawaban yang terdengar. Entah karena kamar orang tuanya yang kedap suara atau karena hujan yang terlalu menguasai udara malam. Yang pasti, Jemmy nggak bisa menahan diri buat menunggu lagi. Dia berjinjit untuk mencapai knop pintu lalu menariknya. Sebuah kebetulan karena kamar orang tuanya nggak dikunci.

"Mama, Jemmy izin masuk, ya?" ucap Jemmy dengan suara lirih. Tangan kecil anak itu mendorong hati-hati pintu yang lebih besar dari tubuhnya itu.

"Kamu terlalu curiga sama apa saja yang aku lakukan! Ayah kamu ya ayah kamu, jangan samakan dia sama aku!"

"Makanya, kamu jangan kebanyakan main sama cewek! Gimana aku mau percaya kalau kamu masih suka lihatin cewek-cewek di luar sana?"

"Terus! Cemburu nggak jelas, terus! Mau sampai kapan kamu kayak gini? Anak kita saja sudah empat! Mau selingkuh kayak apa aku di mata kamu?"

"Karena anak kita sudah empat, makanya kamu jangan suka main mata! Punya mata itu dijaga!"

"Kamu tuh nggak jelas!"

"Kamu juga sama saja!"

Jemmy menghentikan gerakan tangannya. Suara petir memekikkan telinga, mengundang mama dan papanya untuk menoleh ke arah pintu. Kamar yang mereka gunakan kedap suara dan tidak ada suara dari luar yang seharusnya masuk.

"Jeremy?" Yena memperhatikan wajah putra ketiganya yang memberikan tatapan berkaca-kaca. Dengan cepat, perempuan itu memeluk tubuh mungil Jemmy.

Tubuh Jemmy bergetar dan terasa sedikit dingin. "Mah, Jemmy ... takut." Suaranya terdengar sangat lirih saat berucap, kemudian petir kembali menyambar dengan ganasnya.

Jemmy membuka mata dengan cepat. Dia memperhatikan sekitar dan berusaha keras mengatur napasnya yang sedang beradu. Keringat dingin membasahi tubuh. Pandangan Jemmy masih cukup kabur untuk bisa membedakan apakah dirinya berada di dunia nyata atau sekadar mimpi.

Setelah berhasil mengendalikan detak jantungnya, Jemmy kembali menatap sekeliling kamar. Sama sekali nggak ada hujan deras yang mengerikan ataupun suara petir yang menusuk telinga. Terakhir, nggak ada orang tuanya yang sedang bertengkar di sana. Di kamar yang sekarang Jemmy tempati.

Jemmy mengangkat tangan kanannya untuk menutup mulut dengan rapat. Matanya terbelalak. Napasnya semakin terasa sulit sekarang. Dia nggak bisa mengingat apa yang terjadi dengan baik. Namun, Jemmy tahu kalau itu bukan ingatan yang mau dia simpan.

"Tadi itu ... apa?" Dia seperti diseret oleh kenangan masa lalu yang entah mengapa terlihat seperti mimpi buruk. Jemmy menggeleng pelan, menolak mimpinya sebagai kenyataan. "Mama dan Papa nggak pernah bertengkar. Kenapa Jemmy mimpi buruk seperti itu?" Baginya, pertengkaran yang muncul dalam ingatan sekelebat ketika tidur tadi hanyalah bunga tidur yang berbau busuk. Jemmy menggeleng lagi, berharap secuil memori yang menyelinap dengan paksa di kepalanya itu segera menghilang.

Butuh beberapa saat untuk Jemmy benar-benar merasa yakin jika mimpinya tadi bukanlah kenyataan. Setelah menguasai diri, dia menurunkan kedua kakinya dengan perlahan untuk menyapa lantai yang dingin. Aroma manis yang menguar dari lilin terapi nyatanya nggak cukup untuk menenangkan Jemmy kali ini. Cowok itu berjalan mendekati meja belajar, duduk di belakang benda yang terbuat dari kayu tersebut.

Jemmy mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Tanpa membuang banyak waktu, dia menekan ikon aplikasi WhatsApp dan mencari nomor Saka.

Jemmy : Saka, udh bngun, blum?
Jemmy : Ato malh blum tidr, ya?

Saka : Berisik
Saka : Tidur sana, anak kecil!

Jemmy : Jemmy lbih tua dri Saka, tau!

Saka : Mimpi buruk?

Jemmy menatap layar ponselnya. Dia terkekeh pelan membaca pesan dari Saka. Temannya memang paling tahu jika Jemmy akan mengganggu di tengah malam kalau habis mengalami mimpi buruk.

Saka : [sending an audio]
Saka : Tidur sana. Besok ulangan biologi.

Jemmy : Hehe, mksih, Saka

Saka : Bonekanya dipeluk. Lo kan jarang mimpi buruk kalau meluk boneka pas tidur.

Jemmy : Siap

Saka : Udah, sana balik tidur.

Jemmy : Saka jga! Sna tidur!

Saka : Nanggung, komiknya tinggal beberapa chapter lagi. Lo aja, sana cepet tidur. Gausah dibales!

Jemmy terkikik pelan. Tangan kanannya menggengam ponsel saat kembali ke ranjang. Dia merebahkan diri, menyelimuti tubuh dan memeluk boneka besar, hadiah dari Saka saat ulang tahunnya yang kesepuluh. Setelah menyetel lagu yang Saka kirimkan, Jemmy meletakkan ponselnya tadi di atas nakas yang berada tepat di samping ranjang. Dia mulai memejamkan mata, meraih mimpi lain yang lebih menyenangkan.

Paginya, Jemmy terbangun karena suara alarm. Mimpi indah berhasil membuat cowok itu menampilkan senyuman lebar ketika membuka mata. Jemmy mengambil ponselnya dan mengucapkan terima kasih pada Saka, karena lagu yang dia kirimkam berhasil membuat Jemmy tidur nyenyak.

"Udah bangun?"

Jemmy mendongak. Dylan berdiri di depan pintu. Dia memang nggak mengunci pintu kamarnya kemarin malam. "Kak Dylan," sapanya dengan raut ceria.

"Mandi, gih, terus turun buat sarapan."

"Okay."

"Hari ini gue mau nganterin lo ke sekolah. Mau, nggak?"

Jemmy menatap Dylan bingung. Biasanya dia pergi ke sekolah dengan Saka dan Dylan juga tahu itu. Rasanya aneh saat Dylan menawarkan tumpangan padanya. "Terus, pulangnya?"

"Gue jemput. Sekalian ke penyimpanan abu Mama sama Papa nanti. Mau, nggak?"

Jemmy mengangguk setuju. Dia juga sudah lama nggak mengunjungi orang tuanya. Jemmy cukup rindu sama kedua orang tuanya.

Jemmy mengerjapkan kedua matanya. Ada yang nggak beres. Dibanding rasa rindu, Jemmy malah merasa takut sekarang.

Tunggu!

Jemmy menggeleng kasar. Selama ini dia selalu memikirkan Mama Yena dalam keadaan apa pun. Agak aneh karena sekarang dia bahkan bergetar hanya untuk memanggil mamanya sendiri dalam hati.

Bayangan-bayangan aneh menyerbu kepala Jemmy, membuat cowok itu merasa pusing luar biasa. Jemmy mengerang pendek, menarik rambutnya dengan kasar untuk menghilangkan semua bayangan buruk yang menyerbu masuk.

"Lo kenapa?" sentak Dylan, menarik tangan Jemmy agar berhenti menjambak rambutnya sendiri. "Jemmy, stop! Jangan gila lo, ya!" Dylan berseru marah.

Napas Jemmy memburu. Semuanya terasa aneh untuk anak itu. Jemmy tidak sadar telah menyakiti dirinya sendiri. Dia hanya berusaha menghalau ketakutan yang menyerang bersamaan.

"Jem!" panggil Dylan. Air mata adiknya itu telah menetesi pipi.

Jemmy mendongak. "Kak Dylan, Jemmy mimpi buruk semalam." Suara Jemmy tercekat. "Kenapa Mama dan Papa bertengkar di mimpi Jemmy?" Rasanya seperti mimpi buruk itu terus-terusan menghantui pikiran Jemmy, enggan melepaskan cowok itu dalam sebuah ketenangan.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang