16.

60 14 1
                                    

Dia lagi, dia lagi. Bosen banget, sumpah!

—The Wicaksana

Present!


"Bagus, Kala. Kalau kayak begini terus, kamu pasti bisa ngikutin jejak kakak-kakak kamu."

Pujian seperti itu adalah hal biasa. Karena Kala rajin belajar, dia bisa mendapat nilai yang memuaskan. Karena Kala nggak pernah absen ikut les, bahkan saat dia lagi capek sama persiapan turnamen, dia bisa mempertahankan posisi sebagai juara kelas. Semua yang Kala miliki itu membutuhkan banyak perjuangan, tentunya dia nggak dengan ujug-ujug bisa meraih semua itu.

Kala harus merelakan waktu tidurnya. Kala harus bisa membagi antara waktunya bermain dengan belajar. Kala juga mesti menjaga tubuh agar tetap fit biar nggak ambruk pas lagi di masa-masa penting. Semuanya butuh usaha, dan Kala bangga karena dia bisa melewati semua itu.

Buat Kala, manajemen waktu itu sangat penting. Dia udah buktiin kalau dia bisa. Jadi, bukannya Jemmy seharusnya juga bisa?

"Ka, mau tahu sesuatu yang lucu, nggak?"

Suasana hati Kala lagi bagus banget waktu itu, tapi Manda, teman sekelasnya memiliki muka jahil yang bikin Kala was-was sama omongan yang mau dia sampaikan.

"Apaan?"

"Lo tadi habis dipuji Pak Bagas, tapi kakak lo malah dihujat habis-habisan di depan kelas. Lucu banget nggak, sih?"

Manda tertawa. Teman-teman yang lain juga tertawa. Pasti bagi mereka itu adalah pertunjukan paling lucu yang memang patut ditertawakan. Tapi, enggak untuk Kala. Rahang Kala mengeras. Dia menahan diri buat nggak keluarin kata-kata kotor di dalam kelas.

"Kenapa dia dimarahin?" Kala masih mencoba mengorek informasi.

"Kayak nggak tahu kakak lo aja. Biasalah, nilainya turun. Terus, katanya kalau nggak ada perubahan nanti dia bisa tinggal kelas lagi." Kalimat itu meluncur dengan mudahnya dari mulut Manda. Seakan-akan nggak ada yang harus dirahasiakan di depan Kala sekalipun.

Kala mengepalkan tangan. Dia malu. Berada di satu lingkungan dengan Kakak yang bodoh itu bikin Kala malu.

Langkah Kala besar-besar saat dia berjalan keluar kelas. Kala nggak mau bertemu dengan siapa pun dulu—terutama Jemmy, kakaknya.

"Eh, Kala. Mau jajanan?"

Jemmy mengulurkan salah satu makanan ringan yang ada dalam pelukan. Senyumannya lebar, nggak ada sisa kesedihan karena habis dimarahi Pak Bagas di sana. Jemmy bahkan masih sanggup beli jajan di saat-saat kayak gini. Di mata Kala, Jemmy itu ngeselin. Dia benci dan marah karena Jemmy nggak terusik sama masalah nilainya sendiri.

"Ka?"

"Kakak kenapa malu-maluin banget, sih? Kala malu punya Kakak kayak Kak Jemmy!" seru Kala, menumpahkan kekesalannya tanpa peduli dengan tatapan sedih di mata Jemmy.

Jemmy harus sadar. Dunia tuh nggak berputar di dia doang. Kalau Jemmy malas-malasan, orang lain akan nganggap dia seumpama sampah. Dan Kala sekali lagi, benci sama kenyataan kalau mereka memiliki hubungan darah yang sama.

Menyebalkan!


"Kakak nggak akan bikin Kala malu lagi. Di ulangan hari ini, Kakak akan dapat nilai yang bagus. Kakak janji sama Kala."

Dengan penuh percaya diri, Jemmy menggaungkan sebuah janji pada Kala. Rabu itu, Kala tahu kalau Jemmy ada ulangan matematika. Kala nggak peduli mau Jemmy dapat nilai bagus ataupun jelek, karena pada dasarnya semua itu kan akan balik ke Jemmy lagi.

Yah, Kala hanya ingin Jemmy lebih sadar dan peduli sama masa depannya sendiri. Kala frustrasi melihat kakaknya yang terus saja menjadi bahan gunjingan untuk siswa lain. Kala sudah muak.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang