5.

83 17 2
                                    

Susah ya, ngomong sama orang yang sok benar sendiri.

—The Wicaksana

Present!

.
.

Kata orang, waktu akan berjalan dengan cepat kalau kita merasa bahagia. Kayaknya sih, Jemmy bisa setuju sama pendapat itu.

Setelah hari Rabu yang suram dengan ulangan matematika kemarin, nyaris nggak ada ulangan lain sampai tiba-tiba Rabu depan sudah datang. Pelajaran matematika ada di dua hari, yaitu Rabu dan Jumat. Tapi, karena hari Rabu sudah materi terakhir sebelum UTS, jadi Jumat-nya kelas mereka dibebaskan. Sekarang, tinggal pembagian nilai saja.

Kata Saka, "Enggak usah gugup, lo kan sudah melakukan yang terbaik. Meskipun, mungkin nggak sebaik gue sih."

Sialan banget memang Abisaka Kenneth Aprilio tuh. Tapi, benar juga sih. Di kelas mereka, belum pernah ada yang bisa menyaingi nilainya Saka. Saka itu sudah seperti bintang kelas dengan segudang bakat—yang sayangnya punya sifat narsis nggak tertolong. Well, karena Saka ganteng, makanya banyak yang memaklumi.

"Kalau nilai aku bisa dapat sembilan puluh poin, Saka mau kasih hadiah apa?" Jemmy juga menjadi lebih pede kalau lagi sama Saka. Saka itu sudah seperti kakak buat Jemmy, padahal Jemmy lebih tua setahun dari dia. Aneh memang.

"Mau minta apa lo? Jus stroberi? Susu stroberi? Camilan serba stroberi? Tenanglah anak muda, dompet kakak lo ini terisi penuh."

Jemmy ketawa kecil waktu dengar omongan Saka. "Sudah kayak sugar daddy, ya?" godanya. Meskipun terbilang naif, tapi Jemmy paham juga kok masalah kayak gitu. Meskipun nggak seandal Saka sih pemahamannya.

Jemmy kan belajar istilah-istilah begituan sama Saka. Diajarin Saka.

"Woi! Enak aja!" bantah Saka. "Gue tuh sugar brother tahu!" Jemmy ketawa aja dan Saka senyum manis sambil mengusap rambut Jemmy kayak biasanya.

Waktu Pak Broto masuk kelas, tepat pas bel berbunyi, mereka semua langsung diam. Menurut Jemmy, Pak Broto dan kumis tebalnya itu perpaduan yang bahkan bisa bikin jangkrik takut bersuara. Seram banget, seperti uji nyali setiap bertatapan. Makanya, Jemmy lebih sering menunduk dalam. Takut kalau-kalau dia berbuat kesalahan.

"Saya sudah mengoreksi ulangan kalian. Seperti biasa, Abisaka mendapat nilai seratus." Tepuk tangan heboh terdengar dan Jemmy juga memberikan tatapan kagumnya buat Saka. "Lalu, untuk Jeremy, setelah ini ke ruangan saya!"

"Hah?"

Jemmy dan Saka saling berpandangan. Keduanya sama-sama kelihatan bingung sekarang.

"Silakan dibagikan. Kertas jawaban Jeremy masih di ruangan saya!"

"Lo salah kasih nomor? Gugup lagi nih pasti!" gerutu Saka, berbisik.

Jemmy membuat gerakan untuk menggaruk lehernya yang nggak gatal sama sekali. "Kayaknya Jemmy udah ngerjain semuanya dengan baik deh." Dia bergumam, mulai panik juga.

Biasanya, kalau Jemmy mendapat nilai nol sampai dua puluh, Pak Broto nggak pernah menahan kertas jawabannya. Malahan, Jemmy dimarahi habis-habisan di kelas. Jemmy sama sekali nggak bisa menebak apa yang terjadi. Mendadak perutnya jadi mual, seperti ada yang mengaduk-aduk.

"Jeremy, segera ke ruangan saya!" tegas Pak Broto. "Saya sudah memanggil wali kamu juga."

"Ada yang aneh," gumam Saka. "Gue ikut lo deh."

"Emangnya boleh?"

"Ada yang ngelarang?" balas Saka. Jemmy menggeleng, dia juga nggak tahu.

Pak Broto juga diam saja saat melihat Saka berjalan di samping Jemmy. Jemmy semakin gugup sekarang, sepertinya ada masalah yang lebih besar dibanding mendapatkan nilai merah.

The Wicaksana •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang