Part 6: I can't take this side effects

778 102 0
                                    

[Part 5 sejujurnya masih panjang, tapi bermuatan dewasa, jadi nggak bisa aku up di sini. Yang penasaran bisa beli part 5 di Karyakarsa kataromchick, ya. Ini aku langsung update part 6.]

*** 

Pembahasan mengenai anak tidak mampu mengubah pendirian Zaland. Bicara secara perlahan pun pria itu tidak mengubah pendirian suami Jorjia itu. Tidak ada yang bisa membuat pria itu mengalah. Keresahan Jorjia tentu saja menjadi-jadi dengan tidak adanya perkembangan yang positif dari Zaland. Dia semakin tidak karuan memikirkan bagaimana bila suaminya itu mendapati perutnya yang semakin besar dan bukan lagi pertanyaan apakah Jorjia hamil, melainkan pertengkaranlah yang akan terjadi diantara mereka berdua.

"Aku pake parfum kamu, ya."

Jorjia tidak menanggapi apa yang Zaland katakan karena pikirannya sedang terbagi-bagi saat ini. Dia kehilangan konsentrasi dan membiarkan suaminya untuk melakukan apa pun untuk dirinya sendiri sepagi ini, sebelum berangkat bekerja.

"Jia?" panggil Zaland.

"Hm? Kenapa? Kamu butuh sesua—ih! Kamu, kok bau banget!?"

Jorjia semakin tidak bisa berkonsentrasi dengan aroma yang suaminya keluarkan. Entah apa yang dicampurkan oleh Zaland ke tubuhnya hingga aromanya benar-benar menyengat dan membuat Jorjia kesal untuk menghirupnya.

"Apa, sih? Masa parfum kamu sendiri kamu bilang bau? Kamu suka kalo aku pake parfum kamu, kok. Kamu bilang kamu suka nyium aroma tubuhku yang kena parfum kamu ini."

Jorjia membungkam hidungnya dengan erat. Tidak membiarkan Zaland mendekat karena wanita itu langsung mundur, menghindar dari suaminya yang kebingungan menatapnya sekarang ini.

"Jia? What the hell are you doing? Kamu nggak pernah selebay ini kalo kamu nggak suka aroma yang menempel di tubuhku."

Jorjia seolah tersadar bahwa dia sudah menunjukkan salah satu tanda-tanda kehamilan yang tidak seharusnya dia lakukan dengan mudah di depan Zaland. Mungkin suaminya itu akan langsung menyadari perubahan yang terjadi ini. Jadi, meskipun tersiksa, Jorjia akhirnya melepaskan hidungnya dari jepitan yang dilakukan jemarinya sendiri dan berusaha untuk tidak bersikap berlebihan.

"Maaf, tapi kayaknya aku harus bilang kalo aku udah nggak suka dengan aroma kamu yang tercampur parfum aku. Nggak cocok, Zal."

Sebelah alis Zaland naik dengan cepat. Kerutan di dahi pria itu membuat Jorjia resah sendiri untuk menantikan balasan apa yang suaminya akan sampaikan. Jangan bilang kamu sadar soal kehamilanku, Zal. Please, jangan tahu dulu.

"Aneh banget. Apa semua perempuan memang semudah itu ganti-ganti apa yang mereka suka bisa jadi nggak suka?"

Meski memang terkesan tidak masuk akal, Jorjia menggunakan keraguan Zaland itu untuk meyakinkan sang pria untuk tidak mempertanyakan apa yang terjadi pada Jorjia.

"Bisa aja! Perempuan itu makhluk paling unik. Nggak ada yang bisa nebak apa yang perempuan mau. Apalagi perubahan hormon perempuan itu gampang banget terjadi di dalam diri mereka. Kalo ngomongin perempuan pasti ribet, rumit. Mendingan kamu langsung berangkat kerja aja, deh."

"Aku mau peluk kamu. Lagi pula, udah jadi hal yang biasa buat kita kissing sebelum aku kerja. Lebih bagus kalo bisa quickie karena biasanya kamu suka banget sama aroma tubuhku. Aku sengaja pake parfum kamu biar kamu nahan aku untuk nggak pergi kerja sepagi ini, tapi kamu malah bereaksi aneh begini."

Jorjia menggunakan kedua tangannya untuk menyampaikan bahwa dia tidak bisa berdekatan dengan suaminya itu. "Jangan deket-deket, ya. Aku nggak bisa kamu peluk-peluk hari ini. Pokoknya untuk hari ini pengecualian. Tandanya kamu juga harus kerja tepat waktu tanpa aku tahan-tahan, Zal. It's okay, kamu bisa memupuk kekayaan semakin banyak dengan rajin bekerja."

Semakin Jorjia bicara, semakin rapat kening Zaland bertumpuk. Pria itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi heran yang mau tak mau membuat Jorjia selalu panik akan apa yang pria itu pikirkan. Jika bisa membaca pikiran orang lain, Jorjia akan melakukannya pada sang suami. Dia ingin tahu apa yang ada di dalam pikiran Zaland yang tampak mencurigai kelakuan Jorjia yang tidak seperti biasanya ini.

"Kenapa kamu masih diem disitu, Zal? Kamu bisa berangkat kerja sekarang."

Zaland menggelengkan kepalanya untuk beberapa saat. Pria itu memilih untuk membangkang dari permintaan sang istri. Zaland berjalan mendekat, memutus jarak mereka dan memeluk sang istri dengan erat. Pria itu bahkan mengambil satu kecupan di bibir, padahal tahu Jorjia menahan napasnya karena tidak tahan berlama-lama menghirup aroma yang keluar dari tubuh Zaland.

"You look rude, tapi aku nggak akan memperpanjang ini. Aku berangkat dulu. Aku akan masuk rumah dengan telanjang kalo nanti sore kamu masih tahan napas begini begitu aku peluk."

Jorjia tidak bisa merona dengan ucapan Zaland itu, sebab rasa mual mulai menguasainya.

"That's better. Aku lebih suka aroma tubuh kamu yang asli ketimbang kecampur yang lain-lain."

Zaland tertawa pelan tapi tampak suka dengan balasan yang Jorjia berikan. "Noted! Aku akan melakukannya. Jangan protes begitu aku telanjang sampai rumah."

Setelahnya pria itu segera mundur dengan senyuman mesum yang tercetak di wajahnya. Jorjia pun akhirnya bisa bernapas dengan lega dengan Zaland yang pergi untuk bekerja sesuai dengan apa yang Jorjia mau. Namun, itu tidak menyudahi segala drama dalam tubuhnya. Dia masih bisa membayangkan aroma yang melekat dari Zaland meski pria itu sudah tidak ada. Dengan cepat Jorjia berjalan menuju kamar mandi tamu yang lebih dekat, memuntahkan air yang tidak mengerti kenapa bisa terjadi sekarang ini.

Mual dan muntah seperti ini sungguh menyiksa karena rasa sakitnya tidak bisa dibayangkan dengan apa pun. Jorjia membandingkan mual dan muntah ini dengan dirinya ketika sakit dulu, rasanya yang ini lebih dari apa yang masa kanak-kanaknya rasakan. Memuntahkan apa yang tidak ada membuat airmata Jorjia bahkan keluar. Dia baru merasakan fase ini, morning sickness yang sepertinya akan sulit untuk ditahan.

"Sayang, kamu mau Mama kasih tahu keberadaan kamu ke papa, ya? Kamu pasti kesiksa karena nggak diketahui dengan suka cita. Maafin Mama karena nggak bisa jadi Mama yang baik untuk kamu. Mama nggak bisa berani mengatakan keberadaan kamu. Mama terlalu pengecut karena membiarkan papa kamu nggak tahu mengenai kamu. Mama minta maaf karena harus membuat kamu melakukan ini dulu untuk bikin papa kamu bingung." 

PUAN DIGILIR CINTA/TAMAT/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang