04

846 77 3
                                    

Haiii!!
Maaf atas keterlambatannya, beberapa hari ini fokus nguli jadi gak kepegang😄

Hope you enjoy ya guyss
Jangan lupa vote dan komen!!













Nathan mengerutkan kening ketika melihat Rina yang masih duduk di ruang makan sambil menggenggam cangkir di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari namun Rina masih terjaga.

"Rin, kok belum tidur?" Tanya Nathan sambil menghampiri Rina.

Sedikit terkejut ketika Nathan mendapati wajah Rina yang basah oleh air mata. "Kok nangis?" Tanya Nathan. "Perutnya sakit?"

Rina menatap Nathan kemudian menganggukkan kepalanya.

"Kram lagi?" Tanya Nathan. Pria itu menarik kursi di sebelah Rina dan duduk di samping Rina. Tangannya merapikan rambut Rina, poninya sudah basah oleh keringat dingin karena menahan sakit.

"Enggak, dari tadi nendang terus gak mau berhenti." Ujar Rina.

"Aku pegang ya, aku coba ngomong." Ujar Nathan.

Benar saja, ketika Nathan menyentuh perut Rina memang sangat terasa anaknya sedang bergerak aktif di dalam sana. Sepertinya sedang mencari perhatian ibunya.

"Anak ayah gak ngantuk?" Tanya Nathan sambil mengelus pelan perut Rina. "Udah jam dua, ibu mau istirahat."

Ibu?

Rina cukup asing mendengar kata ibu dari mulut Nathan yang ditujukan padanya.

"Kalau mainnya besok lagi mau nggak? Ibu biar istirahat dulu. Ibu capek." Ujar Nathan.

Ajaibnya, tiba-tiba gerakan anaknya di dalam perut Rina tidak sekencang tadi.

Nathan tersenyum ke arah Rina. "Nurut dia." Kata Nathan.

Entah perasaan apa yang ada di benak Rina. Melihat anak di dalam perutnya yang sepertinya ingin selalu dekat dengan Nathan membuat hatinya memiliki perasaan aneh.

Andaikan saja bayi diperutnya hadir dengan cara yang semestinya, pasti Rina dan Nathan akan sama-sama bahagia memantau tumbuh dan kambang bayi mereka.

Makin ke sini sejujurnya Rina sama sekali tak merasa terbebani dengan adanya bayi diperutnya. Rina hanya menyayangkan perbuatan Nathan malam itu yang membuat dirinya trauma berat dan entah kapan sembuhnya.

Rina merasa dikhianati oleh pria yang dicintainya, rasa percaya yang amat sangat terhadap Nathan hilang begitu saja hanya dalam satu malam.

Jauh lebih sakit mengetahui bahwa pria yang menghancurkannya dengan cara keji adalah orang yang amat sangat Rina percaya dan cintai.

'Kenapa harus Nathan?' Hal yang selalu Rina pertanyakan ketika rasa tak percaya itu hadir dalam benaknya, kenapa harus pria yang dicintainya.

"Ajakin ngomong aja Rin kalau nendang lagi. Kamu ibunya, pasti dia juga mau nurut." Ujar Nathan memecah lamunan Rina.

Betul, Rina tak pernah mencoba mengajak bayinya berkomunikasi. Jika kesakitan yang dilakukan Rina hanya menangis tak pernah sekalipun mengajak bayinya berbicara.

"Iya."

"Gak apa-apa kalau memang kamu gak mau. Panggil aja aku, kamarku gak pernah aku kunci. Ketuk atau masuk aja langsung." Ujar Nathan.

Seperti biasanya, Rina tak merespon.

"Udah? Ada yang gak nyaman lagi nggak? Kalau nggak aku antar ke kamar." Kata Rina.

"Udah."

"Istriku hebat banget. Terima kasih ya." Ujar Nathan.

Rina hanya menatap Nathan sebentar kemudian membuang mukanya menatap hal lain.

"Maaf kalau bayinya bikin susah kamu setiap hari."

"Gak apa-apa." Jawab Rina singkat namun tak gagal membuat Nathan tersenyum.

🍀🍀

"Bukannya buru-buru pulang malah di sini, gak kasian sama istrinya." Ujar Grace, mama Nathan.

Nathan tersenyum tipis mendengar Grace berujar. "Biarin Rina sendiri dulu, dia pasti stress liat Nathan tiap hari."

Grace menghampiri anak laki-lakinya yang sedang berbaring terlentang di atas karpet ruang tengah dan mengelus kepalanya. "Rina udah dikasih tau belum?" Tanya Grace.

"Udah."

"Yaudah, tapi jangan lama-lama, kamu harus segera pulang." Balas Grace.

"Nathan bingung, ma, Rina pasti tersiksa tinggal bareng aku. Gimana kalau Rina tinggal sama mama aja?" Usul Nathan.

"Tanya dulu sama Rina, mau apa enggak." Balas Grace asal. "Udahlah mas gak usah stress, dipahami aja. Yang perlu kamu inget, Rina kaya gitu juga gara-gara kamu. Kasian loh Rina, beban dia bukan cuma karena kamu, kamu tau sendiri kan mas orang tua Rina seperti apa?"

Nathan mengangguk. "Nathan sih gak apa-apa kalau cuma denger dia teriak marahin Nathan, Nathan cuma gak bisa kalau Rina ngerasain sakit tapi gak mau bilang." Jelas Nathan. "Kalau kaya gitu Nathan harus gimana? Nathan peka kok kalau Nathan lagi di deket Rina tapi kan Nathan gak selalu di rumah."

"Yaudah, nanti mama telpon Rina, mama kasih tau supaya ngomong ke mama kalau misal gak mau ngomong ke kamu." Ujar Grace.

"Beneran ya."

"Iya." Balas Grace. "Bayi gini kok mau jadi ayah. Emang bisa kamu?" Goda Grace.

Nathan mendengus kemudian melengos tidak mau menatap Grace. "Bisa, kan Nathan ayahnya."

"Jadi orang tua itu pekerjaan berat loh mas. Apalagi nanti kalau anakmu perempuan." Ujar Grace.

"Kenapa gitu?"

"Contohnya aja Rina, dia anak baik, gak macem-macem tapi malah dimacem-macemin sama kamu. Tau gimana perasaan orang tuanya? Hancur mas, udah pasti." Jelas Grace. "Tapi mama juga gak ngebenerin sikap orang tua Rina yang seolah kaya ngebuang, Rina. Jangan sampe kamu nanti kalau jadi orang tua kaya mereka. Memang, kita yang salah mas, kita harus tanggung jawab penuh, tapi gak kaya gitu. Rina juga butuh mental support dari oramg tuanya."

"Nathan jadi makin bersalah, ma." Ujar Nathan. Lagi-lagi air matanya menetes. "Nathan bakal cari cara supaya Rina seneng terus. Biar gak selalu kepikiran masalah orang tuanya atau Nathan." Ujar Nathan.

Rasanya, menyalahkan Nathan bukan pilihan tepat untuk dilakukan Grace saat ini. Marah-marah hingga berbusa pun tak akan merubah apapun, semua sudah terjadi.

Rina hanya punya Nathan, yang bisa Grace lakukan adalah memberi Nathan masukan supaya bisa membuat kehidupan yang Rina jalani membaik.

"Tanggung jawab ya mas, perlakukan Rina dengan baik, jangan menuntut ini-itu. Jalani aja sesuai keinginan Rina. Rina mau mempertahankan bayinya aja kamu udah harus banyak bersyukur."







Tbc.


Kalau aku minta chapter ini 10 vote bisa? Ntar kalau udah 10 vote langsung gass update😆

DAISYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang