Selamat membaca!!
"Mau ke mana?" Tanya Rina ketika Nathan membawanya melewati jalan yang semakin lama semakin jauh dari rumah.
"Ganti suasana, Rin. Emangnya kamu gak bosen di rumah terus?" Tanya Nathan. "Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi malu kalau ke luar rumah. Makanya aku bawa agak jauh biar kamu leluasa."
Rina tau, ini jalan arah ke pegunungan. Pasti Nathan akan mengajaknya menginap di villa.
Setelah perjalanan kira-kira dua jam. Akhirnya mereka sampai.
Nathan menenteng koper dengan tangan kiri, sedangkan tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Rina.
Nathan dan Rina menuju receptionist untuk melakukan proses check in kemudian segera menuju ke salah satu kamar supaya Rina bisa segera istirahat.
"Kamarnya cuma satu?" Tanya Rina saat berada di depan pintu kamar.
"Iya soalnya mahal." Balas Nathan menahan tawa, lucu melihat Rina yang kebingungan.
"Yaudah gue pulang lagi aja."
Nathan tertawa. "Kasurnya twin bed, sayang. Bercanda."
Rina langsung masuk ke dalam tanpa merespon perkataan Nathan.
"Bersih-bersih aja dulu, Rin, habis itu istirahat baru kita keluar nanti sore. Makan jagung bakar. Aku udah bawain kamu jaket tebel." Ujar Nathan. Kemudian laki-laki itu menata barang bawaannya dan Rina untuk tiga hari ke depan.
Rina menatap Nathan yang sedang sibuk menyiapkan kebutuhan Rina. Rina terharu, Rina tak pernah diperlakukan spesial seperti ini oleh orang lain, bahkan orang tuanya sendiri yang selalu sibuk dengan urusannya sendiri dan pekerjaannya.
Rina tak tau harus merasa beruntung atau sial di situasi saat ini.
"Nathan."
"Ada apa? Kamu butuh bantuan?"
"Lepasin sepatu gue, gue gak bisa."
Nathan tersenyum kemudian segera mendekat ke arah Rina untuk melepaskan sepatu istrinya tersebut. Nathan gemas melihat Rina dengan perut besarnya.
"Maaf ya, aku gak peka kalau kamu butuh bantuan. Babynya makin gede, bikin kamu susah gerak."
"Mau dipijit gak punggungnya? Pasti pegel perjalanan lama sambil duduk." Tanya Nathan.
"Boleh." Jawab Rina kemudian segera merebahkan tubuhnya posisi miring, supaya Nathan bisa memijit punggung dan pinggulnya.
"Kalau mau dipijit bilang aja, Rin. Gak usah malu, aku suami kamu." Ujar Nathan. "Walaupun aku gak ngerasain bawa baby ke sana ke mari tapi paling nggak kamu harus berbagi rasa capeknya, jangan dipendam sendiri."
Setelah selesai memijat Rina, Nathan memutuskan untuk membersihkan diri duluan, memberikan waktu untuk Rina istirahat lebih lama.
Setelah mendengar Nathan menutup pintu kamar mandi, Rina mengubah posisi tidurnya menjadi telentang menatap langit-langit kamar.
Tak sampai dua bulan lagi anaknya dan Nathan akan lahir ke dunia, yang berarti kurang dari dua bulan lagi dia dan Nathan akan berpisah sesuai kesepakatan awal, lebih tepatnya kesepakatan sepihak yang dibuat oleh Rina.
Jujur saja hal itu membuat Rina kepikiran. Rina bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia sanggup berpisah dengan suami dan anaknya? Tapi jika tidak meninggalkan, apakah Rina akan sanggup juga?
Perlahan tangannya mengelus perut besarnya, ada rasa tak rela, bayi yang tujuh bulan lebih tinggal di dalam perutnya itu akan keluar sebentar lagi. "Ibu gak rela kamu keluar dari sana? Apa gak bisa lebih lama lagi?" Tanya Rina sambil tertawa kecil.