Bab 09

34 20 0
                                        

Suasana ruang tengah rumah Yuda Aditama terasa sunyi dan sedikit mencekam. Darren menatap seluruh anggota keluarga besar Aditama secara bergantian. Sedetik kemudian dia menghela napas pelan sambil menatap langit-langit rumah kakeknya yang berhiaskan lampu gantung kristal.

"Menurut lo, kakek bakal bahas apa?" bisik Gavin yang duduk tepat di sampingnya.

"Kali ini kayaknya penentuan jalur pendidikan kita, deh," balas Darren tak kalah berbisik.

Gavin memijit pelipisnya saat mendengar jawaban dari sepupunya itu. "Gue mau kuliah sesuai dengan apa yang gue mau."

Darren menyeringai kecil mendengar ucapan konyol sepupunya.
"Silakan kalau lo mau dikeluarkan dari silsilah keluarga."

Baru saja Gavin ingin membalas ucapan Darren, pintu ruang kerja kakek mereka, Yuda Aditama, terbuka lebar. Menampakkan Yuda Aditama yang berjalan memasuki ruang tengah dengan tongkat kebanggaannya.

Sontak semua orang yang hadir berdiri untuk menyambut kedatangannya. Yuda memberi isyarat agar mereka semua duduk usai ia menduduki kursi kebesarannya.

"Apakah ini sudah lengkap? Tak ada yang berhalangan hadir?" Yuda memindai satu persatu wajah anggota keluarga besar Aditama.

"Tidak ada, Ayah," sahut Prasetyo, anak pertama Yuda.

Yuda mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengedarkan pandangannya.

"Kalian pasti bingung kenapa saya mengumpulkan kalian semua di sini. Jadi, sebenarnya saya ingin membahas tentang jalur pendidikan yang akan ditempuh oleh para penerus keluarga Aditama."

Seketika wajah seluruh cucu keluarga Aditama menegang, mereka berharap bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan keinginan mereka.

"Darren dan Gavin, kalian akan saya kirim ke Inggris untuk melanjutkan studi kalian di sana," ucap Yuda dengan sorot mata yang tajam.

Serentak Darren dan Gavin menunduk usai mendapat tatapan tajam dari sang kakek.

Yuda menoleh ke sisi lain dan berujar,

"Karin dan Selina akan melanjutkan pendidikan ke Amerika. Julian, Theo, Hanna dan Rossa akan ke Kanada. Ada yang mau ditanyakan?"

Gavin memberanikan diri mengangkat tangannya.

"Ada apa, Gavin?" tanya Yuda.

"Kami akan melanjutkan kuliah sesuai dengan keinginan kami kan, Kek?" tanya Gavin dengan jantung yang berdetak tak karuan.

Yuda tertawa kecil sambil melihat ke bawah sebelum menjawab pertanyaan cucu keduanya.

"Tentu saja."

Senyum sumringah tercetak jelas di wajah Gavin mendengar jawaban sang kakek, sebelum Yuda kembali angkat bicara.

"Tentu saja kalian akan melanjutkan pendidikan sesuai dengan apa yang Kakek perintahkan," sambung Yuda.

Seketika senyum Gavin luntur digantikan dengan wajah sedih. Begitu pula dengan semua sepupunya yang sudah berharap.

Melihat semua anggota keluarganya diam, Yuda kembali buka suara.

"Sepertinya tak ada yang ingin kalian tanyakan, kalau begitu ayo kita ke taman belakang. Saya sudah menyiapkan banyak kudapan dan teh yang sangat enak untuk kita semua." Yuda memimpin langkah menuju taman belakang.

"Selamat untuk keberanianmu," ucap  Theo sambil menepuk bahu Gavin sebelum berlalu menuju taman belakang.

"Argh!" geram Gavin yang tanpa sadar menendang kaki kursi kebesaran milik kakeknya.

"Aduh!" ringisnya sembari memegangi kakinya.

Darren tergelak melihat Gavin yang kesakitan.

"Malah ketawa! Awas lo, ya!" Gavin berlari mengejar Darren menuju taman belakang dengan langkah yang tertatih-tatih.

***

"Silakan," Tiara bergeser untuk memberi jalan pada wanita tersebut.

"Tristan, Natasha, Thalia, turun dulu. Ada yang mau bertemu kalian," seru Tiara memanggil ketiga anaknya.

Bergegas ketiganya turun, diikuti Sera yang setia mendampingi Natasha. Mereka duduk berjejer di hadapan wanita tersebut.

"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Raina. Saya adalah suster yang merawat Pak Arya selama 2 bulan terakhir. Kedatangan saya ke sini untuk memberikan amanat terakhir dari Pak Arya untuk keluarga almarhum." Raina mengeluarkan 4 buah amplop putih dari tasnya.

"Ibu Tiara Adista Cassandra." Raina memberikan amplop pertama pada Tiara.

"Tristan Ivander Karunansakara."

"Natasha Arkhava Karunansakara."

"Thalia Ivanka Karunansakara."

Usai memberikan semua amplop pada pemilik aslinya, Raina tersenyum lega.

"Saya turut berdukacita atas kepergian Pak Arya. Itu adalah surat yang ditulis Pak Arya kurang lebih dua minggu sebelum kepergiannya. Kalian bisa membukanya di kamar masing-masing, karena saya yakin isinya bersifat pribadi," jelas Raina.

"Baiklah, terima kasih. Selain ini, Pak Arya tidak ada meninggalkan hal lain?" Tiara mencoba memastikan kembali.

"Tidak ada, Bu. Hanya surat itu yang dititipkan pada saya," jawab Raina. Ia berdiri dari duduknya dan tersenyum.

"Kalau begitu saya pamit ya, Bu. Saya masih ada keperluan lain," pamit Raina.

"Oh, iya. Sekali lagi terima kasih dan hati-hati di jalan," sahut Tiara mempersilahkan Raina pergi.

"Masuklah ke kamar kalian. Kalian bisa membaca surat itu sekarang." Tiara bergegas memasuki kamarnya. Ia sudah tak sabar ingin membaca surat terakhir dari almarhum suaminya.

"Ayo, Sha," ajak Sera pada Natasha yang masih terpaku menatap amplop putih pemberian Raina.

Natasha mengangguk dan mengikuti langkah Sera menuju lantai atas. Tristan dan Thalia sudah lebih dulu menuju kamar mereka.

"Lo mau baca sekarang?" tanya Sera usai mengunci pintu kamar.

"Iya." Natasha mengangguk mengiyakan.

"Ya udah, sini gue temani baca. Ini gue udah pegang tisu kalau lo butuh." Sera melambaikan tangannya yang memegang seplastik tisu.

Natasha tersenyum dan mulai membuka amplop putih yang bertuliskan nama lengkapnya.

To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang