Bab 05

42 22 10
                                        

⚠️⚠️Trigger Warning⚠️⚠️

Kematian

*
*
*
*
*
*
*
*

Natasha berlari sekencang yang ia bisa menuju kamar rawat inap sang papa. Saat ia tiba, sudah banyak keluarga besarnya yang datang. Suara isak tangis dan jeritan dari keluarga yang ditinggalkan terdengar begitu memilukan dan menyayat hati.

Seluruh persendian tubuh Natasha melemah ketika netranya menangkap sosok yang ia rindukan terbujur kaku di balik selembar kain putih panjang. Seketika tubuh itu luruh ke lantai, air mata pun mengalir tanpa bisa dicegah. Darren menopang tubuh Natasha untuk mendekati bankar rumah sakit.

"Papa ...."

Tangan Natasha bergetar saat membuka kain putih yang menutupi wajah cinta pertamanya.

"Pa, ayo bangun ... Prank-nya udah berhasil ... Kakak udah nangis sambil lari ke sini. Jadi, ayo bangun, Pa ... Kata Papa 'kan, kita mau ke Korea ... Pa, bangun ... bangun, Pa .... bangun .... Kakak mohon bangun, Pa ...."

Diguncangnya pelan tubuh Arya yang tak kunjung memberikan respon. Natasha mencengkeram erat kain putih panjang yang mulai basah karena tetesan air matanya. Darren, Sera dan Gavin menangis di sampingnya.

"Pa ... bangun, yuk. Papa nggak mau u-ucapin selamat ulang t-tahun untuk Kakak? Ayo bangun, Pa ... Kita pulang yuk, Pa ... Ka-kalau Papa capek, kita nggak usah pergi ke Korea, kita di rumah aja, Pa. Kakak nggak masalah, tapi Kakak mohon Papa bangun ya ...."

Natasha memeluk erat tubuh Arya yang mulai mendingin. Air matanya tak kunjung berhenti, berulang kali ia mengguncang tubuh Arya sembari memohon agar Arya segera bangun. Berulangkali pula ia menciumi wajah Arya yang tak kunjung membuka kedua matanya.

"Sha, udah .... Ikhlaskan kepergian papa, ya?" Tristan menarik tubuh Natasha agar berdiri.

"Nggak, Bang ... Papa nggak pergi ... Papa tidur, papa cuman kecapekan aja. Nanti papa bangun, kok ... iya kan, Ma?" Natasha menoleh pada Tiara yang berdiri tak jauh darinya.

Tiara tak mampu menjawab pertanyaan itu, ia hanya menangis terisak-isak sambil memeluk Thalia.

Tristan merengkuh tubuh Natasha ke dalam pelukannya. Sungguh, ia tak sanggup melihat Natasha seperti ini. Kehilangan sosok ayah tepat di hari ulang tahun adalah mimpi buruk yang tak pernah dibayangkan oleh siapapun.

"Sha, papa udah tenang ... Papa udah nggak sakit lagi ... Kita harus bisa ikhlaskan kepergian papa, ya? Jangan kayak gini, Sha ...." Tristan mengusap-usap kepala Natasha lembut.

"Papa cuman tidur kan, Bang? Nanti papa bangun lagi, kan? Besok kita pergi ke Korea kan, Bang?" Natasha kembali mengulang-ulang ucapan yang sama. Tatapan kosongnya beradu dengan aliran air mata yang tak kunjung berhenti.

Tristan hanya mampu mengeratkan dekapannya tanpa bisa menjawab pertanyaan sang adik.

Darren, Gavin dan Sera pun, hanya bisa menangis melihat kondisi Natasha.

"Abang ... jawab pertanyaan Asha ...." Natasha memukul-mukul punggung Tristan, menuntut sebuah jawaban.

Tristan semakin terisak sambil mengeratkan pelukannya. Ia tak kuasa untuk berkata-kata. Sedetik kemudian, ia merasakan pelukan Natasha melemah. Saat ia merenggangkan pelukannya, ternyata Natasha sudah tak sadarkan diri.

"Awas!" teriak Tristan pada kerumunan orang yang berdiri di depan sofa.

Dengan sigap Tristan menggendong Natasha dan membaringkannya dengan lembut. Ia menoleh pada Darren yang berdiri di dekatnya.

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang