Bab 06

36 22 4
                                    

Sesampainya di rumah, Tiara dan ketiga anaknya sibuk menyambut dan meladeni para pelayat yang berdatangan hingga malam tiba. Usai semua pelayat pulang ke rumah masing-masing, Tiara menghampiri Natasha yang duduk termenung di ruang tamu.

"Sha, ada yang mau Mama sampaikan ke kamu. Ini amanah dari papa. Kamu mau Mama kasih tahu sekarang atau besok-besok aja?" tanya Tiara seraya duduk tepat di samping Natasha.

"Tentang apa Ma?" Natasha balas bertanya.

"Intinya, ini adalah rahasia yang kami simpan selama kamu hidup, tapi hal ini akan menyakiti kamu," jelas Tiara.

Kening Natasha berkerut heran. "Menyakitiku?"

Tiara mengangguk. "Jadi, kamu mau Mama kasih tahu sekarang atau besok-besok aja?"

"Sekarang aja Ma," Natasha menjawab dengan mantap.

"Kalau gitu, ayo ikut Mama ke kamar." Tiara berjalan lebih dahulu meninggalkan Natasha menuju kamarnya.

Thalia dan Tristan hanya memandangi dari kejauhan percakapan Tiara dan Natasha.

"Kira-kira Asha mau dikasih tahu apa ya, Bang?" Thalia meneguk air dingin di hadapannya.

"Gue juga nggak tahu, tapi firasat gue bilang itu kabar buruk." Tristan tak melepas pandangannya meski pintu kamar sang mama telah tertutup rapat.

Thalia hanya mengangguk-angguk sambil tetap menikmati minumannya.

***

Tiara membuka sebuah brankas di ujung kamarnya dan mengeluarkan sebuah map tebal berwarna biru. Ia membawa map itu dan duduk di samping Natasha.

"Itu apa, Ma?" Natasha tak pernah melihat map itu selama dia hidup.

Tiara memberikan map itu kepada Natasha. "Ini milik kamu."

"Milik aku?" Natasha berkerut heran menerima map itu.

Memang benar, di sampul map itu tertera dengan jelas nama lengkapnya. Natasha Arkhava Karunansakara.
Mendadak, kening Natasha dipenuhi keringat dingin. Sedang jantungnya berdebar tak karuan, pertanda bahwa apa yang akan disampaikan Tiara adalah hal buruk.

Tiara menggenggam tangan Natasha lembut.
"Sebelum kamu buka itu, ada yang mau Mama sampaikan."

Natasha menyimak setiap kata yang keluar dari kedua bibir sang mama.

"Sebenarnya ..." Kalimat Tiara menggantung. Walaupun ia tidak menyukai Natasha, namun entah kenapa perasaan tidak tega itu muncul begitu saja. Bahkan, saat ia memeluk Natasha sebelum pemakaman, itu adalah hal yang terjadi diluar kendalinya.

"Sebenarnya apa, Ma?" cecar Natasha tak sabar.

"Sebenarnya kamu bukan anak kandung saya."

Usai mengucapkan kalimat itu, dada Tiara terasa lega, seolah ia telah lepas dari bongkahan batu besar yang selama ini menimpanya selama kurang lebih 20 tahun. Berbanding terbalik dengan ia yang merasa lega, Natasha justru kembali meneteskan air mata dengan ekspresi tak percaya.

"Mama bohong kan? Ini kenapa prank-nya nggak habis-habis sih?" Natasha masih berusaha keras menepis pikiran buruknya.

"Saya tidak berbohong, Natasha. Kamu memang bukan anak kandung saya," tegas Tiara sekali lagi.

"J-jadi, aku anak siapa, Ma?" Terbata-bata, Natasha mempertanyakan kebenaran asal-usulnya.

"Kamu adalah anak dari papa mu dan seorang wanita yang bernama Noura," jawab Tiara seraya membuka map yang masih berada di atas pangkuan Natasha.

Atensi Natasha teralihkan pada map yang kini menampilkan akte kelahiran miliknya di halaman pertama. Matanya menyusuri barisan huruf yang tertera di sana. Benar saja, nama ibu yang melahirkannya memang bukan Tiara Adista Cassandra, melainkan Noura Shezana Orlin.

"Noura adalah cinta pertama papamu yang tak pernah bisa ia lupakan hingga akhir hayatnya. Dulu, Mama dan papamu dijodohkan secara paksa. Tanpa Mama ketahui, ternyata papamu dan Noura telah menikah siri sebelum kami menikah. Namun, Noura tidak langsung hamil, berbeda dengan Mama yang langsung hamil setelah dua bulan pernikahan kami. Semua terbongkar setelah Tristan berusia dua tahun." Tiara menarik napas sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya.

"Saat itu, sebenarnya Mama sudah mendapatkan banyak laporan dari teman dan saudara papamu tentang hubungannya dengan Noura. Namun, Mama tetap berusaha untuk mempercayai papamu. Hingga akhirnya, papamu membawa kamu ke rumah ini sehari setelah ulang tahun Tristan yang kedua. Kamu saat itu masih berusia sekitar tiga minggu, dengan penuh permohonan papamu meminta maaf sekaligus meminta agar Mama bersedia mengurus kamu yang ma—"

"Stop, Ma." Tangan Natasha terangkat tepat dihadapan Tiara. Ia sudah tak sanggup lagi mendengar semua penjelasan yang sangat menyakitkan itu. Kepalanya tertunduk sambil tetap meneteskan air mata yang tak dapat ia hentikan.

"Jadi, ini alasan nama aku sendiri yang berawalan huruf N? Ini alasan Mama selama ini pilih kasih? Ini alasan Mama membenciku?"

Pertanyaan yang bertubi-tubi itu berhasil membuat kedua netra Tiara kembali meneteskan air mata yang semula sudah mengering. Perlahan, ia mengangguk sebagai jawaban atas semua pertanyaan itu.

Natasha tersenyum getir melihat anggukan itu. Ia berdiri dan meninggalkan map biru itu di atas kasur Tiara. Tanpa berkata-kata lagi, ia keluar dari kamar Tiara lalu jatuh terduduk di depan pintu. Isak tangisnya terdengar begitu memilukan hati.

Thalia dan Tristan berlari menuju Natasha yang memukuli dada kirinya dengan kuat.

"Sha, lo ngapain?" Tristan menarik tangan Natasha agar berhenti memukuli dadanya.

"S-sakit, Bang ... Sa-kit ... Gue ng-nggak sa-sang-gup ...." Natasha kembali memukuli dada kirinya.

"Lo jangan gila." Kini giliran Thalia yang menarik tangan Natasha.

"Lo ng-nggak akan ngerti, Thal," ucap Natasha lemah sebelum ia tiba-tiba jatuh pingsan.

"Asha!"

"Kak!"

To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang