Bab 16

38 20 0
                                    

Wanita berambut hitam bergelombang sebahu itu terdiam memandangi pigura foto yang terpajang rapi di atas meja kerjanya. Senyum tipis terulas di wajah yang mulai mengeriput.

"Mas, apa kabar kamu? Apa kabar putri kita? Aku rindu, Mas." Ibu jarinya bergerak mengusap sosok pria yang berada dalam pigura.

"Sudah dua puluh tahun berlalu, tapi rasa ini masih ada Mas. Meski tak sebesar dulu, tapi namamu tetap tak tergantikan oleh siapapun. Takdir cinta kita terlalu menyedihkan ya, Mas." Cairan bening mengambang di pelupuk matanya, yang sedetik kemudian telah membasahi kedua pipi wanita paruh baya itu.

Suara ketukan di pintu memecah lamunannya.

"Masuk," titahnya. Pigura foto itu ia kembalikan di posisinya semula.

"Bu, ada perwakilan dari Infinity Investments Company yang ingin bertemu dengan Ibu." Nara bergeser sedikit untuk memberi jalan.

"Selamat pagi, Bu Noura." Seorang pria paruh baya memasuki ruangan dengan senyum lebarnya.

"Selamat pagi, Pak Chandra." Noura berjalan menyambut tamunya.

"Silakan duduk, Pak." Noura mempersilakan tamunya duduk sedangkan seorang pegawai masuk membawakan minuman dan camilan.

"Baiklah, mari kita bahas proyek besar ini." Noura membuka berkas yang sudah tersedia dan mulai berdiskusi dengan Chandra, perwakilan dari Infinity Investments Company.

***


"Noah, saya titip kelas, ya. Saya ada urusan mendadak." Pak Yogi menepuk pundak Noah sebelum berlalu meninggalkan kelas.

Noah hanya mengangguk mengiyakan lalu kembali melanjutkan tugasnya.

Usai punggung Pak Yogi hilang dari pandangan, suasana kelas segera berubah. Keheningan berubah menjadi keributan.

Noah mengetuk mejanya dengan pena berkali-kali. Seketika kelas menjadi hening.

"Dijaga suaranya, jangan terlalu ribut. Kerjakan tugas yang benar. Besok kumpulkan ke gue sebelum kelas Pak Yogi dimulai."

"Siap, Bos!" sahut Juan mewakili seisi kelas.

Kemudian kelas kembali ribut. Noah menyandarkan punggungnya, kedua matanya terpejam melepas penat.

"Ini Kakak. Ini Adik. Kalian kembar identik, kamu lahir lima menit sebelum adikmu. Mama nggak tahu di mana adik dan papa kamu sekarang."

Ingatan itu kembali terputar dalam benak Noah. Kerinduannya begitu membuncah pada papa dan kembaran yang tak pernah ia temui.

Tuhan, di mana mereka? Sudah belasan tahun kami mencari mereka. Tolong pertemukan kami dengan mereka. Batin Noah.

Usai jam pelajaran Pak Yogi berakhir, Noah berjalan menuju parkiran mobil untuk segera pulang.

Mobil hitam miliknya melaju dengan kecepatan sedang, playlist musik favoritnya mengalun indah.
Deretan mobil di depannya yang terjebak macet membuatnya ikut terkunci di tengah kemacetan panjang ini. Noah berusaha tenang dan tak mau ambil pusing agar emosinya tidak terpancing.

Suara sirine ambulans menarik perhatiannya. Ternyata ada kecelakaan yang terjadi hingga menyebabkan kemacetan yang begitu panjang ini. Noah kembali melanjutkan perjalanannya usai lalu lintas kembali lancar. Sekilas ujung matanya menangkap sosok gadis yang terbaring di dalam ambulans. Namun, ia mengabaikannya dan tetap melanjutkan perjalanannya.

***


Tiara berdiri memandangi padatnya pemukiman warga dari jendela kantornya. Helaan napasnya sangat menggambarkan kesedihan yang teramat sangat. Meski ia masih berduka tapi ia tetap memaksakan diri untuk datang ke kantor. Berharap dengan bekerja, sedihnya dapat berkurang.

Namun, apakah itu berhasil? Tentu saja tidak. Luka ditinggal mati suami bukanlah hal yang mudah untuk disembuhkan. Bayang-bayang Arya masih terputar jelas dalam benak Tiara. Bahkan, setiap menutup mata hanya Arya yang terlintas.

Tiara berbalik arah dan netranya berhenti pada deretan pigura foto yang tersusun rapi di atas meja. Satu persatu foto itu membangkitkan memori yang tersimpan di sana, hingga netra Tiara berhenti pada pigura terakhir. Cukup lama ia memandangi foto tersebut sebelum diraihnya dan mengusap wajah yang terpampang di dalamnya.

Foto itu adalah foto Natasha saat kelulusan SMA.

"Maafkan Mama, Sha. Rasa benci ini belum memiliki tempat yang tepat untuk dilampiaskan. Seharusnya Mama membenci Noura, bukan kamu. Pasti sakit sekali menjadi bagian dari keluarga saya. Kamu sangat baik, Sha. Saya yang jahat. Ah, bukan. Lebih tepatnya saya yang belum bisa ikhlas menerima takdir yang sudah tertulis di atas sana." Tiara menyeka ujung matanya yang mulai berair.

"Saya yakin kelak kamu bisa menjadi wanita hebat di masa depan. Maafkan saya yang tidak bisa menyayangi kamu seperti saudara kamu yang lain. Ampuni saya, Natasha Arkhava Karunansakara." Tiara memeluk pigura foto tersebut sebentar sebelum menyimpannya di dalam laci meja paling bawah.

Bergegas ia membasuh wajahnya di kamar mandi. Usai memakai kembali make up untuk menutupi sembabnya, Tiara bergegas menuju ruang rapat yang sudah menantinya sejak sepuluh menit yang lalu.

"Bu, ini laporan hasil negosiasi dengan Capital Insight Company."

Tiara menerima map dari Chandra, lalu membaca setiap baris yang tertera di sana dengan teliti.

Tiara menoleh pada Chandra, sebuah senyuman terbit usai ia menutup map.

"Terima kasih atas kerja kerasnya, Pak Chandra. Akhirnya kita berhasil membuat kerjasama dengan mereka."


***

"

Kakek suruh kita datang ke rumahnya lusa." Darren menunjukkan ponselnya yang berisi pesan dari Yuda.

Gavin meraih ponsel Darren dan membaca pesan yang tertera dengan seksama. Raut kesal jelas terlihat di wajah tampannya.

"Pasti mau bahas tentang bisnis. Muak gue. Dikira gue nggak punya mimpi sendiri kali, ya?" Rutukan Gavin terdengar jelas.

Sera dan Natasha hanya bisa terdiam tak berani ikut campur. Mereka tahu betul bagaiman ketatnya kehidupan Gavin dan Darren yang sangat diatur sedemikian rupa oleh Yuda Aditama.

"Memangnya apa yang bisa kita lakukan selain menurutinya? Mau membangkang? Lo tinggal pilih jenis siksaan yang mana yang mau lo rasakan." Darren menutup aplikasi pesan dengan logo hijau di ponselnya.

"Pokoknya setelah gue berhasil menuruti semua kemauan Si Tua Bangka itu, gue mau mencapai impian gue yang tertunda selama ini." Kepalan tangan Gavin menunjukkan kekuatan tekadnya.

"Terserah lo. Yang jelas, kita nggak akan bisa hidup tenang kalau berani melanggar aturan beliau," tandas Darren.

Natasha dan Sera hanya bisa meneguk saliva mereka kasar saat mendengar ucapan Darren. Kedua mata mereka seketika menjadi alat komunikasi telepati.

To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang