Bab 14

31 19 0
                                        

Noah meletakkan sepiring nasi goreng spesial buatannya di atas meja makan. Kali ini ia memasak sarapan untuk dirinya dan sang ibu.

"Wah, gantengnya Mama masak apa? Harum banget." Sang ibu berjalan dan tersenyum dengan bangga menuju meja makan.

"Aku masak nasi goreng spesial, Ma." Noah melepas celemeknya.

"Sepertinya keahlian memasak kamu semakin hari semakin meningkat. Kamu nggak mau masuk sekolah khusus memasak aja?" Satu suapan lolos dengan mudahnya ke dalam lambung wanita paruh baya tersebut.

Noah menggeleng. Bukan karena ia tak mau, tapi sekolah khusus memasak impiannya ada di Prancis. Artinya jika ia masuk ke sekolah itu, ia harus meninggalkan ibunda tercinta sendirian di tanah air, lagipula ia juga belum berhasil menemukan adiknya.

"Nggak, Ma. Lagipula udah terlanjur juga ambil jurusan kedokteran."

"Kamu punya pacar nggak, Kak?"

Seketika Noah tersedak mendengar pertanyaan mendadak seperti itu. Sang ibu segera memberikan segelas air putih pada putranya.

"Kamu nggak apa-apa?" Kecemasan terdengar jelas dalam nada bicaranya.

"Nggak apa-apa Ma," jawab Noah setelah meneguk air putih.

"Kok bisa tersedak cuman dengar pertanyaan Mama? Apa jangan-jangan kamu memang sudah punya pacar?" Selidik sang ibu sambil melanjutkan makannya.

"Nggak ada, Ma. Aku nggak punya pacar. Tadi aku tersedak karena Mama tiba-tiba tanya itu, padahal sebelumnya nggak pernah bahas itu," jelas Noah.

Wanita dengan rambut hitam bergelombang sebahu itu tergelak pelan. "Kalau kamu sudah punya pacar, jangan lupa kenalkan ke Mama, ya."

"Aduh Ma, masih lama lagi. Aku nggak mau fokusku terpecah karena pacaran. Aku mau fokus selesaikan studiku, biar bisa jadi dokter spesialis yang hebat." Noah meletakkan piring kotor di wastafel.

"Bagus, Mama yakin kamu tahu apa yang terbaik untuk kamu. Kalau gitu, Mama pergi duluan ke kantor, ya. Kamu jangan ngebut bawa mobil." Sebuah kecupan singkat di pipi Noah menjadi salam perpisahan mereka pagi ini.

***

Natasha segera keluar dari rumah usai mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti biasa. Setelah mengetahui fakta bahwa ia bukanlah putri kandung Tiara, ia semakin ikhlas menjalani semua pekerjaan rumah, karena ia merasa sadar diri bahwa dia bukan siapa-siapa di rumah itu.

"Sha!" Tristan berlari mengejar Natasha yang sudah sampai di depan gerbang rumah padahal ini baru jam tujuh pagi.

Natasha menoleh tanpa kata.

"Lo mau kemana jam segini? Bukannya hari ini jadwal lo masuk siang?" Tristan memindai penampilan Natasha yang sudah rapi di saat dirinya baru bangun tidur.

"Gue ada urusan. Semua pekerjaan rumah udah beres, sarapan juga udah ada di atas meja lengkap seperti biasa. Gue juga udah izin ke Mama lewat chat, soalnya gue yakin Mama belum bangun jam segini. Gue pamit, Bang." Natasha mencium punggung tangan abangnya sebelum menutup gerbang.

"Gue antar ya?" Tristan mencoba menahan kepergian Natasha.

"Nggak perlu Bang, gue udah pesan ojek. Makasih tawarannya." Natasha tersenyum sebelum kembali melangkah.

Tristan hanya terdiam membisu, ia yakin Natasha sudah bangun dari jam empat pagi untuk membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan.

"Luka yang kami torehkan terlalu dalam ya, Sha? Sampai lo bersikap sedingin ini," lirih Tristan sedih.

"Ngapain Bang?" tanya Thalia yang masih memakai piyama dengan rambut yang dicepol asal.

"Nggak ada." Tristan berlalu meninggalkan Thalia di depan pintu.

"Dih, masih pagi juga." Thalia menutup pintu dengan kesal.

***


"Selamat pagi, Pa. Kakak datang." Batu nisan yang masih baru itu kini menjadi rumah ternyaman bagi Natasha.

Ia sengaja datang pagi-pagi sekali untuk mengunjungi rumah baru sang papa. Tangannya bergerak membersihkan rumput liar sebelum ia menaburkan bunga dan menyiram air di atas makam sang papa.

"Pa, di sana enak nggak? Papa kedinginan atau nggak? Kenapa papa pergi duluan? Kenapa nggak ajak Kakak? Kakak di sini kesepian pa, fakta menyakitkan itu benar-benar berhasil bikin Kakak down. Kakak mau benci sama papa, tapi cuman papa yang Kakak punya." Natasha memeluk batu nisan dihadapannya tanpa takut.

Jika dulu pemakaman adalah tempat yang menyeramkan baginya, kini tempat ini tak lagi menyeramkan, bahkan menjadi salah satu tempat yang akan sering ia kunjungi.

"Pa, di mana keberadaan mama kandung Kakak, pa? Tolong kasih tahu Kakak lewat mimpi, pa. Kakak nggak punya petunjuk apapun. Kakak bingung harus cari mama kemana. Kemarin aku dan teman-temanku ke alamat yang papa kasih, ternyata rumah itu udah ganti pemilik, pa. Kakek dan nenekku udah meninggal pa, om Kean juga pergi ke luar negeri setelah kakek dan nenek meninggal. Pa, mama nggak meninggal pa. Mama masih hidup dan dia bawa pergi kembaranku, pa. Papa kenapa nggak cerita kalau aku ada kembaran kakak laki-laki?" Natasha mencurahkan seluruh isi hatinya di depan makam sang papa.

"Oh iya, ini kalung dari papa. Cantik pa, makasih ya pa." Ia mengeluarkan kalung yang ia pakai dari balik baju.

"Semoga aku bisa bertemu dengan mama kandungku ya, pa. Aku juga mau merasakan belaian dan dekapan seorang ibu. Aku juga mau merasakan rasanya disayangi dan dicintai seorang ibu, aku juga mau merasakan bagaimana rasanya punya seorang kakak laki-laki yang baik dan menyayangiku. Aku belum pernah merasakan itu, pa." Tangannya bergerak mengusap-usap ukiran nama sang papa.

"Kakak pamit ya pa. Besok-besok Kakak ke sini lagi. Dadah pa ...."

Natasha berjalan keluar dari pemakaman tanpa menyadari sesosok pria yang memperhatikan dirinya dari kejauhan.

To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang