Saat kembali ke rumah, Natasha tak mendapati seorangpun di dalam rumah. Padahal, biasanya Tristan dan Thalia sudah berada di rumah pada pukul 06.00 sore. Natasha mencoba mengabaikan firasat buruknya dan berpikir bahwa mereka sedang ada urusan. Namun, sebuah notes kuning yang tertempel di daun pintu kamarnya menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Gue dan Thalia disuruh mama ke rumah sakit. Lo jaga rumah baik-baik.
Natasha tersenyum kecut usai membaca notes tersebut.
"Kapan mama bisa anggap gue ada? Kenapa cuman mereka yang disuruh jenguk papa?" ucapnya lirih.
Natasha mengempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya yang terpejam ternyata mengalirkan air mata tanpa ia sadari. Ia menangis sekencang-kencangnya untuk melepaskan semua rasa sakit yang ia alami selama ini. Sesekali ia berteriak kencang sambil memukuli kasurnya.
Setelah merasa lega, Natasha beranjak turun ke dapur untuk makan malam. Perutnya sudah terasa perih karena tak kunjung di isi. Ia melahap makan malamnya dengan malas. Kalau bukan karena perutnya yang mulai terasa perih, ia tak akan makan malam ini.
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Natasha melangkah dengan gontai untuk membuka pintu.
"Hai! Gue mau menginap di sini, boleh kan?" Sera berdiri dengan wajah ceria dihadapan Natasha dengan tas kecil di tangannya.
"Boleh, dong. Kenapa nggak kasih tahu gue dulu? Tumben lo tiba-tiba datang?" Natasha memberi jalan bagi Sera untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Iya, gue buru-buru tadi, makanya belum sempat kasih kabar ke lo," jawab Sera. Matanya tertuju pada makanan yang terhidang di meja makan.
"Lo lagi makan malam ya?" Sera menatap Natasha yang tidak beranjak dari depan pintu.
"Iya. Lo langsung ke kamar gue aja. Gue mau habiskan itu dulu," balas Natasha.
"Oke deh, gue tunggu di atas ya," seru Sera yang segera menaiki anak tangga menuju kamar Natasha.
Natasha menatap piringnya lesu. Sungguh, ia sangat ingin membuang sisa makanannya, tapi ia teringat bahwa apa yang ia makan saat ini adalah impian banyak orang di luar sana yang kesusahan dalam mencari sesuap nasi.
Usai mencuci piring, Natasha memeriksa semua pintu dan jendela sebelum ia memasuki kamarnya.
"Sha ...." panggil Sera lembut seraya merentangkan kedua tangannya bersiap untuk memeluk sahabatnya itu.
Natasha melirik notes yang tadi tertempel di daun pintu kamarnya berada di samping Sera. Sekarang ia paham kenapa Sera tiba-tiba merentangkan kedua tangannya. Natasha menghambur ke dalam pelukan Sera yang terasa sangat hangat dan nyaman.
Sera tak mengatakan apapun, ia hanya mengusap lembut punggung sahabatnya, karena ia tahu, yang saat ini dibutuhkan oleh Natasha bukan kata penghibur atau apapun. Ia hanya membutuhkan sebuah pelukan dan bahu untuk bersandar. Benar saja, bahu Sera terasa basah dan isakan kecil mulai terdengar.
"Nangis aja, Sha. Nangis yang kencang dan lepas. Pakai bahu gue untuk bersandar. Jangan ada yang ditahan ya," ujar Sera lembut.
Mendengar itu, tangis Natasha semakin pecah. Padahal tadi ia sudah menangis sebelum kedatangan Sera, tapi kini tangisannya kembali pecah dalam pelukan Sera. Setelah merasa tenang, Natasha melepas pelukannya dan menyeka sisa air matanya.
"Maaf ya, Ser. Baju lo jadi basah gara-gara gue." Natasha mengusap bagian baju Sera yang basah.
"Nggak apa-apa. Gue bawa baju ganti, kok. Gimana? Udah tenang? Gue nggak akan paksa lo untuk cerita. Lo bisa cerita kapanpun lo mau." Sera memberikan tisu pada Natasha.
"Gue sedih, gue capek. Kenapa gue nggak diajak juga untuk jenguk papa? Gue rindu banget sama papa gue. Padahal rumah nggak akan lari kalau nggak dijaga." Natasha membersihkan hidungnya dengan tisu pemberian Sera.
Sera tersenyum geli mendengar ujung kalimat Natasha.
"Besok setelah selesai acara ulang tahun lo, kita jenguk Om Arya bareng-bareng ya?" ucap Sera berusaha menenangkan sahabatnya.
Natasha hanya mengangguk mengiyakan.
"Lo kenapa tiba-tiba mau nginap di sini?" Natasha mengalihkan topik pembicaraan.
"Gue bosan di rumah. Adik gue pergi ke puncak sama temannya. Jadi gue juga mau sama sahabat gue," jawab Sera.
"Oh gitu ... tidur yuk, gue ngantuk." Natasha mengambil bantalnya dan bersiap untuk berbaring. Namun, dengan cepat Sera menahan tubuh Natasha.
"Eh, cuci muka dulu, pakai skincare dulu. Ayo." Sera menarik tangan Natasha menuju kamar mandi.
"Sera ... gue udah ngantuk berat, lho ..." Natasha mengikuti langkah Sera dengan malas.
"Gue nggak peduli. Pokoknya lo harus tetap pakai skincare." Sera meletakkan botol sabun cuci muka milik Natasha di tangannya.
Akhirnya Natasha mengikuti semua perintah Sera tanpa protes agar bisa segera tidur. Usai mengerjakan semua tahap skincare-nya, Natasha segera memeluk gulingnya erat.
"Good night, Sera. Jangan lupa baca doa biar nggak mimpi buruk," ucap Natasha sebelum pergi ke alam mimpi.
Belum sempat Sera membalas ucapan Natasha, dengkuran halus sudah terdengar dari sahabatnya itu. Sera menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum sambil merapikan selimut.
"Good night too, Asha. Gue harap lo mimpi indah, agar rasa sedih lo berkurang."
Sera meraih ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat di aplikasi hijau.
Rencana A batal. Dia nggak bisa diganggu, besok gue ceritakan semuanya.
Setelah memastikan pesannya terkirim, ia segera menyusul Natasha menuju alam mimpi.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Terindah
Ficção AdolescenteKehilangan orang tercinta adalah hal yang tak diinginkan oleh siapapun. Namun, bagaimana jadinya jika kehilangan sosok ayah bertepatan dengan hari ulang tahun? Natasha merasa dunianya hancur seketika saat ia harus kehilangan ayahnya tepat di hari ul...