Bab 15

30 19 0
                                        

Daun pintu terbuka pelan. Ruangan sepi berisi buku yang tersusun rapi itu selalu menjadi tempat favorit Natasha. Ia mengambil sebuah buku kemudian membawanya ke meja baca. Karena ia tidak ada jadwal pagi, ia memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan kampus.

Semilir angin dari pendingin ruangan memberikan efek rasa kantuk yang amat sangat. Natasha akhirnya tertidur pulas di atas meja baca dengan posisi tangan terlipat sebagai tumpuan kepala. Bangun pukul empat pagi membuatnya benar-benar mengantuk.

***

Darren memarkirkan mobilnya dengan rapi. Langkahnya tertuju pada ruangan bernuansa cokelat dengan gaya vintage di salah satu gedung kampus.

Tangannya dengan cepat meraih buku-buku yang ia butuhkan sebagai referensi tugas kuliah. Netranya menangkap sosok perempuan yang tertidur pulas di atas meja baca. Namun, ia tak ambil pusing dengan hal itu, ia kembali melanjutkan tujuan ia datang ke perpustakaan.

Saat ia memilih tempat duduk, ia merasa tak asing dengan perempuan yang tertidur pulas itu. Tangannya terulur menyibak rambut yang menutupi wajah perempuan tersebut, sebuah senyuman terbit di bibirnya usai melihat wajah dari perempuan yang sedang tertidur pulas.

"Lo ngapain tidur di sini, Sha?" tanyanya lirih. Sudah pasti ia tak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu.

Alih-alih membaca tumpukan buku di hadapannya, ia malah memperhatikan ciptaan Tuhan di hadapannya. Sesekali ia tersenyum sendiri tanpa ada yang tahu sebabnya.

"Sha, bangun yuk." Darren mengguncang pelan lengan Natasha usai setengah jam berlalu sejak ia memperhatikan Natasha terlelap.

Natasha terbangun dan menggeliat sebelum mengucek matanya.

"Sejak kapan lo di sini?" Matanya menyipit menatap Darren heran.

"Kurang lebih setengah jam yang lalu. Lo sendiri?"

"Dari satu jam yang lalu. Tadi gue niatnya baca buku, tapi karena suasana di sini enak banget, akhirnya malah ketiduran." Tangan Natasha bergerak lincah mengikat rambut hitam panjang lurus miliknya.

"Lo udah sarapan?"

Pertanyaan itu mendapat gelengan kecil sebagai jawaban.

"Kalau gitu kita sarapan yuk." Darren mengambil tumpukan buku yang ia ambil tadi.

"Ayo, gue udah lapar." Natasha bergerak mengikuti langkah Darren menyusun kembali buku yang tadi sempat ia baca walau hanya beberapa lembar.

***


"Lo jangan cepat-cepat dong!" Sera berhenti dan mengatur napasnya yang tak beraturan.

"Ah, cemen lo. Baru lari sebentar aja udah capek," sahut Gavin dengan nada mengejek.

Sera tak menyahuti ejekan Gavin. Ia duduk di tepi trotoar jalan untuk meluruskan kakinya yang terasa pegal.

"Diam deh. Nggak akan ada cewek lain yang mau diajak lari pagi sama lo sejauh dua kilometer selain gue." Sera menenggak air putih yang ia bawa dari rumah.

Gavin tertawa kecil dan duduk di samping Sera.

"Jangan salah, nggak akan ada cowok yang mau diajak keliling tiga mall tanpa henti sama lo, selain gue."

Sera menoleh dan tertawa keras mendengarnya.

"Berarti kita impas ya."

"Maybe," jawab Gavin sembari mengendikkan bahu.

"Enaknya sarapan apa ya?" Sera memperhatikan jejeran pedagang kaki lima tak jauh dari tempatnya dan Gavin beristirahat.

"Bubur ayam yang gerobak biru itu enak, Ser. Lo udah pernah coba?" tanya Gavin.

"Belum, biasanya gue beli bubur ayam nggak di sini."

"Lo harus cobain sih. Yuk." Uluran tangan Gavin disambut oleh Sera.

Keduanya berjalan beriringan menuju penjual bubur ayam bergerobak biru.

"Bang, bubur ayamnya dua ya. Satu nggak pakai kacang dan kecap. Satu lagi daun bawangnya sedikit aja Bang. Terus air hangatnya dua ya Bang," pesan Gavin.

"Oke Bang," sahut penjual.

"Ternyata lo masih ingat aja ya, kalau gue nggak suka kacang dan kecap di bubur ayam," ucap Sera saat Gavin sudah duduk di hadapannya.

"Apa sih, tentang lo yang nggak gue ingat?" balas Gavin.

Tanpa Sera sadari, ucapan Gavin barusan berhasil menimbulkan semburat merah muda di pipinya.

"Dih?" balas Sera berusaha menyembunyikan salah tingkahnya.

Gavin hanya tersenyum melihat reaksi Sera.

"Ini pesanannya."

Dua mangkuk bubur ayam dan dua gelas air putih hangat terhidang rapi. Aroma khas bubur ayam membuat perut Sera dan Gavin berbunyi.

"Enak, kan?" tanya Gavin usai Sera menelan sesendok bubur ayam miliknya. Sedangkan Gavin sendiri belum menyentuh buburnya.

"Iya, enak banget!" Kedua jempol Sera teracung, disertai binar bahagia di kedua netranya.

"Kalau urusan kuliner, jangan ragukan rekomendasi dari gue. Karena udah terjamin pasti enak dan berkualitas." Gavin menikmati bubur ayam miliknya dengan senyuman bangga.

Sera mengangguk setuju. "Kali ini gue setuju sama kepedean lo."

Gavin tertawa kecil lalu meneguk air hangat miliknya.

Dering ponsel Gavin memecah keheningan diantara mereka.

"Halo, kenapa Dar?"

"...."

"Oke, setengah jam lagi gue sama Sera ke sana."

Gavin menutup panggilan dan kembali melanjutkan sarapannya.

"Kenapa, Gav?" tanya Sera.

"Nggak ada. Lanjut aja," jawab Gavin santai.

Sera merasa ragu tapi tetap memakan buburnya dengan tatapan fokus pada Gavin.

Usai sarapan, Gavin membayar pesanan mereka dan bergegas pulang.

"Setengah jam lagi lo gue jemput, ya," ucap Gavin setelah mengantarkan Sera tepat di depan gerbang rumah keluarga Damaris.

"Oke. Makasih untuk pagi ini, hati-hati." Sera melambaikan tangannya.

"Sama-sama." Gavin membalas lambaian Sera lalu masuk ke dalam mobil.

To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang