"Darren!" teriak Galang pada putra sulungnya.
Darren menghentikan langkahnya pada anak tangga kelima. Ia tak berniat untuk menoleh.
"Jangan pernah kamu berani untuk melawan perintah kakek kamu! Kamu harus menjadi pewaris utama dari perusahaan kakekmu! Paham?!" bentakan Galang tak membuat Darren gentar.
Ia hanya diam dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Dasar anak kurang ajar!" Galang bersiap untuk menyusul Darren. Namun, Kania menarik tangan suaminya agar tak mengejar Darren.
"Mas, udah. Darren pasti akan menuruti permintaan kita. Jangan kasar sama anak kamu, Mas. Nanti kita yang bisa kehilangan calon pewaris utama Aditama Group." Kania mengusap lengan suaminya lembut.
Galang duduk kembali dan berusaha menenangkan diri. Benar apa yang dikatakan oleh istrinya, jika ia semakin keras pada Darren, bisa saja putranya itu menentang keputusan Yuda Aditama, tahta tertinggi di pohon keluarga mereka untuk saat ini.
Darren menutup pintu kamarnya kasar. Tas ranselnya ia lempar asal.
Terduduk lemas ia di tepi tempat tidur."Gue bukan robot. Capek banget dari kecil harus selalu nurut apa kata mereka. Gue juga punya mimpi sendiri. Argh!" Darren mengacak rambutnya asal.
Sedari kecil ia harus menjaga nama baik keluarganya dan mengikuti semua perintah dari kedua orangtuanya. Hidup dengan bergelimang harta tak serta merta membuat hidupnya bahagia dan sempurna. Ada harga yang harus ia bayar jika ingin tetap mendapatkan semua fasilitas mewah yang selama ini ia rasakan. Yaitu, kebebasan.
Darren mengganti pakaiannya lalu berusaha untuk tidur, melepas semua penatnya hari ini.
***
Natasha meregangkan tubuhnya usai melipat pakaian kering dan membereskan rumah yang sedikit berantakan saat ia pulang tadi.
"Sha."
"Iya Bang?" Natasha menoleh.
"Ini, gue beli lauk untuk makan malam. Lo nggak perlu masak lagi." Tristan menyerahkan sekantung plastik penuh berisi lauk.
Natasha menerimanya dengan senang.
"Terima kasih, Bang. Aku duluan ya, mau siapkan makan malam."
Tristan mengangguk dan membiarkan adiknya berlalu begitu saja. Entah kenapa, Tristan merasa Natasha seolah menghindar darinya. Ia tak tahu apakah ini hanya sekedar prasangkanya saja atau memang benar Natasha menjaga jarak darinya.
Tristan menggelengkan kepalanya berusaha menepis pikiran buruk itu lalu berjalan menuju kamar untuk membersihkan diri.
Makan malam sudah tersedia rapi di atas meja. Semuanya masih sama, lima kursi dengan tiga piring yang tersedia seperti biasanya. Natasha tersenyum miris menatap susunan piring di atas meja. Sampai saat ini ia belum pernah diajak untuk kembali makan bersama di meja makan ini. Terakhir kali itu terjadi, sekitar 3 bulan yang lalu sebelum kepergian Arya.
Natasha bergegas menuju dapur untuk makan malam di pojok dapur seperti biasa. Dulu, ia suka berbagi makanan dengan kucing komplek yang suka tidur di bagian belakang rumah. Namun, sudah seminggu ini kucing itu tak terlihat lagi. Kembali, Natasha makan malam berteman sepi. Ia makan lebih dulu daripada keluarganya agar jika ada yang dibutuhkan, ia bisa sigap datang.
"Sha, ayo makan." Tristan datang menghampiri Natasha yang sedang mencuci piring bekas ia makan.
"Gue baru selesai makan, Bang." Natasha menunjukkan piring yang baru saja ia cuci sebagai bukti bahwa ia baru saja selesai makan.
Entah untuk yang keberapa kalinya, Tristan terdiam dengan rasa sesak di dada karena Natasha. Lebih tepatnya, karena sikap buruk ia, Thalia dan Tiara selama ini.
"Mulai besok dan seterusnya lo harus makan di meja makan bersama kami. Jangan pernah makan di dapur lagi, Sha. Lo bukan pembantu," ucap Tristan pelan dengan nada tegas.
"Coba Abang yang bicara ke Mama, ya. Gue nggak berani." Natasha berjalan meninggalkan Tristan sendiri.
Tristan menghela napas berat. Izin dari Tiara adalah hal yang sangat sulit didapatkan. Usai mengacak rambutnya, ia kembali ke meja makan yang sudah terisi oleh Thalia dan Tiara.
"Dari mana kamu?" Tiara meletakkan sendok dan garpu saat Tristan tiba.
"Dari dapur, Ma." Tristan duduk dan mulai mengambil nasi serta lauk yang terhidang..
Tiara mengangguk dan kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
"Ma ...." Tristan memanggil Tiara lembut sebelum sang ibu meninggalkan meja makan.
Tiara menoleh, "Kenapa?"
"Abang mau minta tolong, izinkan Asha untuk makan di meja makan ini lagi, Ma," pinta Tristan dengan nada memohon.
Tiara meletakkan tisu yang sudah ia pakai lalu beralih pada putra sulungnya.
"Kenapa tiba-tiba? Dia suruh kamu untuk bujuk Mama?"
Tristan menggeleng cepat. "Nggak, Ma. Ini inisiatif Abang sendiri."
"Jangan, Ma. Aku nggak selera makan kalau ada dia di meja makan," cegah Thalia dengan nada ketus.
Sorot sinis dari kedua netra Tristan tak membuat Thalia takut. Ia justru memasang wajah angkuh seraya meneguk kembali air minumnya.
"Mama pikirkan lagi." Tiara beranjak meninggalkan kedua anaknya yang masih menanti jawaban.
"Ma, please. Asha juga anak papa, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain kita, Ma. Dia bukan pembantu, Ma." Tristan tak menyerah membujuk Tiara.
Dia bukan pembantu, Ma.
Kalimat terakhir Tristan berhasil menghentikan langkah Tiara. Lalu ia berputar sembilan puluh derajat, "Mulai besok pagi dan seterusnya dia makan di meja makan bersama kita."
Tristan tersenyum bahagia saat mendapat izin dari Tiara. "Makasih, Ma!" serunya bahagia.
"Mama!" panggil Thalia tak terima.
Tiara tak mengindahkan panggilan dari putrinya dan tetap masuk ke dalam kamar.
To be continued

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Terindah
Teen FictionKehilangan orang tercinta adalah hal yang tak diinginkan oleh siapapun. Namun, bagaimana jadinya jika kehilangan sosok ayah bertepatan dengan hari ulang tahun? Natasha merasa dunianya hancur seketika saat ia harus kehilangan ayahnya tepat di hari ul...