Bab 07

36 23 0
                                        

Tristan menggendong Natasha ke kamarnya. Disusul dengan Thalia yang membawa sebaskom air dan sebuah handuk kecil untuk mengompres tubuh Natasha yang terasa panas.

"Lo jagain dia bentar, gue mau ke bawah," titah Tristan.

Thalia hanya mengangguk mengiyakan lalu beralih kembali pada sang kakak yang kini masih berada di alam bawah sadar.

"Lo kenapa sih? Mama bilang apa ke lo sampai lo bisa pingsan gini? Lagi hari duka bisa-bisanya lo malah nambah masalah."

"Dasar beban," tandas Thalia sebal.

***

"Ma ... Mama ..." panggil Tristan seraya mengetuk pintu kamar Tiara.

"Kenapa?" sahut Tiara dari dalam kamar, enggan membuka pintu.

"Mama bicara apa sama Asha? Kok dia bisa separah itu nangisnya? Dia sampai pingsan lho, Ma." Kedua tangannya mengepal erat menahan gejolak emosi.

Pintu terbuka.

"Nggak semua hal harus kamu ketahui sekarang. Untuk saat ini, biarkan hanya Asha yang tahu." Tiara melenggang pergi meninggalkan Tristan yang masih terpaku tak percaya mendengar jawaban dari mamanya.

"Kamu urus saja dia. Mama masih ada urusan," sambung Tiara sebelum menenggak sebotol minuman isotonik.

Tristan bergegas menuju kamar Natasha usai mendapat usiran halus dari Tiara. Ia benar-benar tak habis pikir dengan sikap Tiara yang bisa berubah secepat kulit bunglon berubah. Ia kira, Tiara akan berubah menjadi lebih hangat kepada Natasha setelah kepergian Arya. Ternyata tidak, semua masih sama.

***

"Kemarin malam itu, gue menemukan sebuah notes kuning di atas kasur Natasha. Di situ tertulis, Gue sama Thalia disuruh Mama ke RS, lo jaga rumah baik-baik. Tante Tiara sebenci itu sama Natasha, sampai dia nggak diizinkan untuk menjenguk Om Arya. Akhirnya, malam itu Natasha nangis di pelukan gue. Makanya gue bilang, rencana A batal," jelas Sera pada Gavin dan Darren perihal pesan yang ia kirimkan kemarin malam.

"Sebenarnya Tante Tiara ada masalah apa sama Asha, sampai bisa membenci putrinya sendiri. Nggak habis pikir gue." Darren menopang dagunya kesal.

"Padahal Asha itu anak yang baik, lho. Nggak ada track record yang buruk. Selalu nurut semua perintah orang tua dan selalu berprestasi. Entah di mana letak kesalahannya Asha," timpal Gavin yang langsung merebahkan tubuhnya di sofa rumah Sera.

"Besok kita ke rumahnya lagi, yuk!" ajak Sera bersemangat.

"Sorry, kami nggak bisa. Besok ada acara keluarga besar," tolak Darren halus.

Raut wajah Sera menampakkan kekecewaan, tapi sedetik kemudian ia tersenyum dan mengangguk.

"Nggak apa-apa, gue berangkat sendiri aja."

"Mungkin lusa gue sama Darren bisa ke sana." Gavin membenarkan posisi duduknya. Sera mengangguk mengiyakan.

"Ser, kami pamit pulang ya." Darren beranjak dari kursinya disusul oleh Gavin.

"Iya, hati-hati ya." Sera berjalan mengantarkan kedua sahabatnya menuju pintu.

***

Natasha menatap kosong langit-langit kamarnya. Ia sudah terbangun sejak satu jam yang lalu, tapi tak ada niat untuk bergerak turun ke bawah mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya.

Ia mengingat kembali semua kejadian kemarin yang masih terasa seperti mimpi olehnya. Kematian papa, disusul dengan fakta menyakitkan. Ia merasa dunianya hancur dalam semalam. Sampai saat ini ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana kedepannya.

Atensi Natasha teralihkan saat pintu kamarnya terbuka. Tristan berdiri sambil membawa nampan berisi sarapan dan obat.

"Cuci muka, gih. Habis itu makan." Tristan meletakkan tangannya di atas kening Natasha. Suhu tubuh Natasha sudah menurun.

Natasha bergerak mengikuti arahan Tristan tanpa berkata apapun. Tristan merapikan kasur selagi adiknya di kamar mandi. Setelah Natasha kembali, ia mengambil mangkuk yang berisi bubur ayam dan bersiap untuk menyuapi Natasha.

"Buka mulut lo," titah Tristan. Tangannya sudah bersiap menyuapkan sendok ke dalam mulut Natasha.

"Bang, lo nggak apa-apa kalau benci sama gue, karena gue bukan anak Mama." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari kedua bibir Natasha.

"Ayo, makan. Buka mulut lo," ucap Tristan seolah tak mendengar apa yang baru saja dikatakan adiknya.

Natasha membuka mulutnya dan menerima setiap suapan dari Tristan hingga bubur itu habis. Tristan mengambil gelas dan obat lalu memberikannya pada sang adik.

"Nih, diminum."

Usai meneguk obatnya, Natasha kembali mengulang perkataannya,

"Bang, lo nggak apa-apa kalau benci sama gue, karena gue bukan anak Mama."

"Gue ke bawah dulu, ya. Lo mandi biar segar, kalau ada apa-apa, chat aja gue." Tristan meninggalkan kamar Natasha tanpa mengindahkan perkataan sang adik.

"Bang," panggil Natasha sekali lagi.

Tristan berbalik tanpa kata, mata mereka bertemu.

"Makasih ya, Bang," sambung Natasha.

"Sama-sama," jawab Tristan sebelum membuka pintu.

Bertepatan dengan pintu kamar Natasha tertutup, air mata Tristan menetes tanpa izin. Segera ia menyeka air matanya sebelum turun ke bawah.

Thalia berlari kecil menghampiri Tristan yang baru saja menginjak lantai bawah.

"Lo ngantarin makan untuk dia, Bang?" tanya Thalia tak percaya.

Tristan berjalan menuju dapur tanpa menjawab pertanyaan Thalia. Sungguh, ia malas berdebat dengan Thalia di pagi hari. Namun, bukan Thalia namanya kalau dia tidak mendapatkan apa yang dia mau.

"Bang, jawab gue. Lo ngantarin makan untuk dia?" Thalia mencecar Tristan yang sibuk mencuci piring.

"Iya, emang kenapa?" jawab Tristan sambil menuangkan air dingin ke gelas.

"Lo ngapain peduli sama dia?" Nada tak suka jelas terdengar dari pertanyaan Thalia.

"Karena gue punya hati." Tristan berlalu meninggalkan Thalia sendirian menuju kamarnya.

Deg!

Ucapan Tristan bagai belati yang menikam tepat di ulu hatinya.

***

Sera menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu rumah Natasha.

Pada ketukan ketiga, pintu itu terbuka dan menampilkan wajah Thalia yang masih berkerut kesal.

"Ada ...." Belum selesai Sera berbicara, Thalia segera memotong.

"Asha di atas. Masuk aja," ucap Thalia yang segera masuk meninggalkan tamunya di depan pintu.

Sera mengabaikan sikap tak sopan Thalia dan segera menuju kamar Natasha.

"Astaga, Asha ....!" teriak Sera saat melihat kondisi sahabatnya.

To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang