Sarapan pagi ini terasa sedikit canggung karena Natasha kembali diizinkan bergabung oleh Tiara di meja makan.
Thalia yang duduk di samping Tristan berulang kali memberikan tatapan sinis pada Natasha. Namun, hal itu tak membuat Natasha takut, ia hanya berusaha menikmati kenangan yang terlintas dalam benaknya saat duduk di meja makan ini.
Tiara tak banyak bicara saat sarapan kali ini, tak seperti biasanya. Ia hanya memakan sarapan yang tersedia lalu meninggalkan meja terlebih dahulu dengan alasan sudah dikejar deadline untuk bertemu klien.
"Abang, makasih ya." Natasha mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya pada Tristan karena sudah berusaha mendapatkan izin dari Tiara.
"Iya, sama-sama. Kalau ada yang sulit, kasih tahu ke gue. Jangan dipendam sendirian. Walaupun kita beda ibu, tapi kita satu bapak. Jadi, kita tetap saudara kandung." Senyum Tristan terukir indah di wajah tampannya.
Natasha terdiam membeku.
"Abang ... udah tahu?"
"Iya, gue sempat lihat map biru yang kamu tinggalkan setelah dipanggil Mama malam itu. Setelah gue pindahkan lo ke kamar, Mama suruh gue untuk bantu Mama pilah beberapa berkas papa, makanya gue bisa lihat isi map biru itu," jelas Tristan panjang lebar.
"Tapi lo tenang aja, cuman gue yang tahu tentang ini. Thalia belum tahu," sambung Tristan.
Natasha mengangguk lega. Ia merasa sedikit tenang saat tahu bahwa Thalia tidak mengetahui yang sebenarnya.
"Lo mau berangkat bareng?" tawar Tristan.
"Nggak usah, Bang. Makasih. Gue udah ada janji sama Sera," tolak Natasha halus.
"Oke, kalau gitu gue duluan, ya. Jangan lupa pesan gue tadi." Tristan meninggalkan Natasha usai mengusap puncak kepala adiknya.
Natasha mengangguk dan membalas senyum Tristan singkat.
"Jadi, dia bukan anak kandung Mama?" bisik Thalia yang menguping pembicaraan kedua saudaranya dari balik dinding. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir dengan takdir yang dijalani oleh Natasha. Namun, sedetik kemudian senyum penuh makna tercetak di bibirnya.
Sebelum Tristan mengetahui keberadaannya, ia segera berlari menuju kamarnya di lantai dua. Sedangkan Natasha dan Tristan yang tak mengetahui keberadaan Thalia pergi menuju kampus.
***
Sinar matahari terasa begitu menyengat siang ini. Natasha berjalan kaki menuju kafe tempat ia akan bekerja paruh waktu. Ia memutuskan untuk bekerja paruh waktu agar bisa memiliki tabungan pribadi yang bisa ia pakai setelah lulus.
Ia ingin keluar dari rumah Tiara setelah lulus. Maka dari itu, ia berusaha keras untuk bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Angin sejuk menerpa wajahnya begitu pintu kafe terbuka. Natasha menyeka keringat di dahinya dengan sapu tangan yang ia bawa.
"Selamat datang." Seorang pelayan kafe menyapanya ramah.
Natasha tersenyum membalas sapaan tersebut. "Maaf Kak, mau tanya. Ini benar kafe yang sedang mencari pekerja paruh waktu kan, Kak?"
"Oh iya, benar. Kamu mau mendaftar ya?" tanya Maria. Begitu yang Natasha baca di name tag pelayan tersebut.
"Iya, Kak." Natasha mengangguk dengan semangat.
"Mari ikuti saya." Maria memimpin langkah menuju ruang manajer.
"Silakan, saya duluan." Maria pamit dengan sopan.
"Terima kasih, Kak," ucap Natasha sebelum Maria meninggalkannya sendiri.
Natasha mengetuk pintu ruang manajer dengan gugup.
"Masuk." Sebuah suara bariton terdengar jelas dari dalam.
Natasha melangkah masuk dengan mulut yang tak berhenti merapal doa agar ia diberi kemudahan dalam interview kali ini.
***
Sera berteriak bahagia saat mendengar kabar bahwa Natasha diterima bekerja di kafe milik sepupunya.
"Sha, gue ikut senang dengar lo diterima kerja, tapi kalau sekiranya lo udah ngga kuat lagi, berhenti aja. Lo bisa tinggal di rumah gue kok setelah lulus." Sera tak ingin sahabatnya kesusahan.
"Makasih, Ser untuk tawarannya, tapi gue mau usaha sendiri." Suara Natasha di ujung telepon membuat Sera terdiam.
"Oke kalau itu mau lo. Gue akan dukung lo terus, semangat ya."
"Sekali lagi makasih, Ser. Ini semua juga karena bantuan lo. Kalau nggak ada lo, gue nggak tahu bakal gimana. Oh iya, jangan kasih tahu siapapun tentang ini, ya." Nada memohon terdengar jelas dari ujung sana.
"Iya, gue paham. Sekarang lo pulang, istirahat. Udah masuk semester empat, lo jangan sampai izin nggak ke kampus."
"Iya Ser, sekali lagi makasih ya."
Panggilan pun berakhir. Sera kembali berkutat dengan laptop untuk melanjutkan tugas yang sempat tertunda.
Tiga puluh menit kemudian, Sera menutup laptop-nya. Matanya menerawang ke langit-langit kamar.
"Pencarian mama kandung Natasha sampai saat ini belum ada kemajuan. Dia sampai harus banting tulang demi bisa punya uang banyak setelah lulus nanti, padahal kuliah sambil kerja part time itu nggak mudah. Belum lagi dengan pekerjaan rumah yang harus dia lakukan setiap hari. Ya Tuhan, kasihan banget sahabat gue ..." Sera bermonolog sendiri memikirkan Natasha.
"Eh, tapi tunggu dulu." Sera menegakkan tubuhnya saat teringat sesuatu.
"Mendiang Om Arya pasti meninggalkan warisan untuk semua anaknya. Gue yakin uang warisan itu banyak, mana mungkin seorang Arya Chandra Karunansakara meninggalkan sedikit warisan." Senyum Sera mengembang lebar saat ia merasa berhasil menemukan cara agar Natasha tak repot bekerja.
"Tapi ... Si Nenek Lampir yang jadi masalahnya. Aduh, pusing gue." Sera kembali lemas usai teringat akan Tiara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Terindah
Roman pour AdolescentsKehilangan orang tercinta adalah hal yang tak diinginkan oleh siapapun. Namun, bagaimana jadinya jika kehilangan sosok ayah bertepatan dengan hari ulang tahun? Natasha merasa dunianya hancur seketika saat ia harus kehilangan ayahnya tepat di hari ul...