Zaver disidang

662 106 15
                                    

🏆🏆🏆

Endometrioma. Itulah yang dijawab Endah. Gejala itu muncul awalnya saat Nesya mengeluh datang bulan terasa nyeri dan tak jarang lama hingga dua minggu dengan banyak darah. Ya, bisa dikatakan itu bagian pendarahan.

Setelah diperiksa, hasil diagnosa dokter penyakit kista ovarium. Pantas Nesya pucat, karena pendarahan itu. Belum lagi asupan makan tak selalu bergizi, stres, tertekan dan banyak hal lainnya. Semakin memperburuk kondisinya.

"Endah, sorry telepon lagi. Apa parah kondisi Nesya?" bisiknya. Pandangan masih mengarah ke taman samping rumah. Nesya tampak lesu memang.

"Aku kurang bisa pastiin, cuma terakhir cek tiga bulan lalu, itu juga Nesya sendirian. Aku cuma dikasih tau dia mau kontrol. Setelah itu nggak cerita apa-apa."

Zena mendesah, "yaudah, aku coba tanya nanti ke dia. Makasih, ya. Nesya aman di sini."

"Kami yang sangat berterima kasih ke keluarga kalian, Zena. Benar-benar membantu."

"Sama-sama. Yaudah, aku gabung makan malam lagi, makasih, ya."

Zena mematikan sambungan, ia lantas berjalan kembali ke taman, duduk di samping Mandala yang menyambutnya dengan senyuman. Akan tetapi, Zena heran dengan Zaverio yang lebih banyak diam. Padahal biasanya seru bahkan bermain bersama keponakannya.

"Saya permisi ke kamar duluan, makan malamnya enak. Pak Dipa jago masak. Bu Letta, terima kasih." Nesya tersenyum, ia membawa piring dan gelas kosong ke dapur, segera mencucinya lalu berjalan ke arah kamar.

Zaver masih asik menikmati es buah, tapi tatapan Zano dan Zena melekat ke arahnya.

"Mas!" tegas Zena ke Zano. "Seret dia!" sambungnya lugas. Zano meletakkan garpu ke atas piring, meneguk air putih lalu berdiri dari duduknya.

Zaver mengernyit, lengan kanan dan kiri diapit kedua kakaknya. Mandala hanya mengangkat tangan ke udara, tak bisa menolong Zaver yang menatap penuh memohon.

Zaver dibawa ke teras rumah Zano. Pak Iman kaget melihat Zaver dibawa seperti itu.

"Mas, Kak, ada apa ini? Adek kenapa diseret?" Pak Iman panik.

"Pak Iman, mau ikut ceramahin Adek, nggak. Kalau nggak, minta tolong buatin kopi buat aku sama Mas Zano, ya, bakal lama nih nyeramahin bocah ini!" tunjuk Zena emosi.

"Siap, Kak Zena!" Pak Iman segera masuk ke dalam rumah. Zano bersandar pada dinding teras, sementara Zena mencepol rambut panjangnya.

"Kamu kenapa sama Nesya?" tembak Zena.

"Yaelah, Kak. Masalah ini, udah sih! Ini urusan aku!" tolak Zaver.

Zena menjewer telinga Zaver saking gregetannya. Zaver hanya bisa mengusap pelan telinganya yang pedes kena jeweran.

"Dek, jujur bilang kenapa?" Zano mulai bersuara.

"Nggak ada apa-apa, Mas ... Kak. Kalian aja yang suka kelewat kenceng radarnya kalau aku ada masalah!" singut Zaver.

"Lho, ya, bagus, dong! Tandanya kita peka!" pelotot Zena. Zaver menatap ke arah pagar yang terbuka. Tampak teman-teman Zano datang.

"Nah! Pas banget, nih! Masuk-masuk!" ajak Zena semangat.

Bian dan Ganis masuk tapi saling melempar pandangan bingung.

"Rapat paripurna apaan, nih? Bahas undang-undang baru di pemerintahan Papa Dipa?" ledek Bian yang membawa bungkusan kue pancong gula pasir dan pukis.

"Emang niat baek, ada aja yang bawa makanan," celetuk Zena. Harap ingat! Soal makanan jajanan kaki lima, Zena jagonya.

"Mas Ganis sama Mas Bian janjian ke sini?" tegur Zaver seraya duduk bersila.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang