Saling jujur

548 76 1
                                    

🏆🏆🏆

Nesya duduk kaku di sofa ruang tamu. Kedua tangannya meremas celana panjang yang dikenakan. Keempat keponakannya plus Arya duduk di lantai menghadap Nesya sambil menikmati cakwe yang bibi potong-potong kecil.

"Tante cantik, putih," celetuk salah satu dari sikembar empat.

"Makasih," sahut Nesya sambil tersenyum memaksa. Zaver kembali dari kamarnya di lantai atas, ia bawa buku Nesya yang jadi jatuh di UKS.

"Bukunya jatoh tadi di UKS." Zaver memberikan. Nesya segera menerima, ia buka halaman demi halaman seperti mencari sesuatu. "Cari ini?" Zaver mengeluarkan lembar foto dari saku celana pendeknya. Nesya merebut cepat tapi Zaver segera mengangkat tangan ke udara.

"Pasukan, ke dalam sana. Cakwenya habisin aja. Habis itu minum air putih," peritah Zaver. Semua segera berdiri tanpa menyanggah perintah. Arya mengajak keempat sepupunya ke meja makan.

"Kembalikan ke saya," pinta Nesya.

"Mau cerai tapi masih simpan foto berdua, bukannya malah tambah sakit hati nantinya?" Zaver tak melepaskan pandangan dari kedua netra sendu Nesya.

"Tolong kembalikan, Zaveriooo," tekan Nesya lembut. Senyum Zaver merekah. Ia berikan lembar foto tadi. "Makasih." Nesya menyelipkan ke halaman tengah buku.

"KDRT nggak dibenarkan sama sekali, Bu. Masih tau terus jadi istri dia? Sebagai cowok, saya gatel mau mukulin dia. Biar tau sakitnya digampar, tonjok, dijedotin ke dinding. Bu Nesya jangan belain dia terus."

"Dia suami saya." Nesya bicara bernada ketus, masih tampak membela Fery.

"Iya, tau ... tapi suami kasar dan nggak punya otak."

Nesya hanya diam tak membalas ucapan Zaver.

"Saya mau pulang. Udah jam enam." Nesya berdiri, Zaver mendongak menatap. "Jangan anterin, saya bisa sendiri."

"Yakin, Bu? Nggak nyasar? Ke jalan utama harus belok-belok dulu. Emang Bu Nesya tau alamat rumah ini kalau mau pesen ojol juga?" tantang Zaver.

"Zaver, di depan ditempel nomor rumah dan jalan ini apa. Mata saya masih sehat, bisa lihat jelas, jadi nggak usah anterin. Ngerti?!" tegas Nesya lalu keluar dari ruang tamu. Ia berjalan keluar pagar, diikuti Zaver di belakangnya tanpa bersuara.

Nesya memasukan alamat rumah Zaver ke aplikasi ojol, ia tunjukkan layar ponsel ke arah Zaver. "Lihat, bisa kan? Udah deket ojolnya." Senyum penuh kemenangan terlihat di wajah Nesya.

"Lihat, Bu, tapi kenapa Bu Nesya nggak bisa lihat kelakuan suaminya ya? Oh ..., jangan-jangan sengaja butain mata karena ketutup cinta?" Zaver mengusap dagunya sambil tersenyum sinis.

"Gini, ya," jeda Nesya seraya bersedekap. "Sadar kan kamu masih kecil. Belum lulus SMA. Belum kuliah. Zaver ... dengerin saya. Nanti di kampus, kamu pasti ketemu sama perempuan yang jauhhh ... lebih baik dari saya. Udah, nggak perlu kamu usaha keras buat bikin saya tertarik sama kamu. Fokus sekolah dan kuliah. Buat keluarga juga diri kamu bangga jadi dokter. Kamu pasti tau untuk jadi dokter butuh waktu lama sekolah, tujuh sampai delapan tahun, belum lagi kalau mau ambil spesialis. Jangan pusing mikirin saya. Percuma."

Mendengar itu rasanya hati Zaver sakit sekali. Ditolak seperti ini, dengan kalimat yang memang seratus persen benar soal pendidikan tapi nol besar soal perasaannya ke Nesya, membuatnya diam seribu bahasa.

"Kalaupun saya cerai sama Fery, urusan kamu apa?" seringai merendahkan ditunjukkan Nesya. "Saya mau diKDRT apa nggak, nggak perlu kamu pusingin. Perasaan kamu itu ke saya cuma sesaat. Saya yakin nanti, waktu kamu kuliah, akan ketemu seseorang yang memang pantas buat kamu."

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang