Mulai rumit

582 91 10
                                    

🏆🏆🏆

"Dek, kok bawa helm?" tegur Letta saat Zaver hendak berangkat sekolah.

"Pingin motoran ke sekolah, Bu." Zaver sudah siap berangkat. Ia melirik ke Nesya yang menikmati sarapan sambil berbincang dengan Oca dan Arya.

"Hati-hati, ya." Letta mencium kening putranya.

"Nggak bawa bekal?" Dipa sudah menyiapkan kotak bekal tapi belum di isi makanan.

"Nggak, Pa. Zaver berangkat, ya," pamitnya dengan menyalim tangan Dipa, mencium puncak kepala dua adiknya, tetapi saat dengan Nesya ia cuek saja. Nesya juga tak masalah. Hanya kedua mata Dipa dan Letta saling mengkode karena keanehan Zaver.

Motor vespa matic hitam keluar dari garasi, Zaver memakai jaket bomber warna coklat tua yang dibelikan Zena saat liburan dua bulan lalu ke Singapura.

Jam masih diangka enam kurang lima belas. Udara pagi menyapa Zaver yang tak tersenyum.

Dari kejauhan, terlihat Syanina berdiri di depan pagar rumahnya memeluk helm warna pink. Zaver berhenti di depan Nina.

"Hai," riang sekali Nina menyapa. Zaver memasang standar motor, ia berkata ingin izin ke mama papa Nina.

"Mama udah ke rumah sakit, Papa juga ke kantor. Kamu mau pamit ke siapa?"

"Adek kamu aja kalau gitu." Tas ransel Zaver di lepas, ia letakan di tengah pijakan kaki.

Zaver melangkah masuk ke garasi rumah, terlihat Vian, adiknya Nina duduk sambil mengikat sepatu sekolah.

"Vian," sapa Zaver.

Vian mengakat kepalanya. "Lho, Kak Zaver ngapain di sini?" Vian tampak terkejut.

"Jemput Nina. Aku izin hari ini bareng Nina ke sekolah."

Vian berdiri, ia melihat keanehan dari raut wajah Zaver. "Kak Nina maksa Kak Zaver, kan? Jujur sama Vian?" lirih Vian.

Zaver menggelengkan kepala.

"Bohong banget," sinisnya. Vian meraih tas ransel, ia menunggu jemputan sekolahnya yang memang memfasilitasi.

Zaver kembali berjalan keluar pagar, bersiap naik ke atas motornya.

"Woy, Kak Nina," panggil Vian.

"Apa?" ketusnya.

Dua remaja perempuan berbeda usia setahun itu saling menatap tajam.

"Malu gue punya Kakak kayak lo," ucap Vian pelan tapi dalam.

"Jangan sok tau!" jutek Nina lantas naik membonceng Zaver.

"Sadar, lah, Kak ... jangan maunya diturutin melulu. Gue tau lo pasti maksa Kak Zaver, kan? Lo tuh nggak pernah mau ngalah."

Syanina memakai helm, tak mempedulikan ocehan adiknya.

"Urus diri sendiri. Jangan campurin urusan gue."

"Gue cuma mau ingetin. Mama Papa nggak pernah ya maksa lo jadi dokter atau apapun. Lo yang mau karena mau ngintilin Kak Zaver terus. Jangan suka bohong demi keuntungan lo, Kak. Mama semalam bahas sama gue. Lo bebas milih jurusan apapun."

Zaver menoleh ke Nina yang raut wajahnya panik karena ucapan Vian.

"Kak Zaver jangan iyain Kak Nina terus. Dia nggak akan sadar, Kak. Susah banget dibilangin," keluh Vian yang tampaknya sudah gregetan dengan kakaknya sendiri.

"Vian!" bentak Nina.

"Apa? Kenapa? Salah gue? Eh, Kak. Gue sayang dan peduli sama lo makanya gue bongkar ke Kak Zaver sebelum dia kemakan omongan lo. Lo mau kuliah desain interior, kan? Mama Papa nggak masalahin!" sambung Vian.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang