Nikah itu drama

743 90 3
                                    

🏆🏆🏆

"Sekarang kita ke mana? Bu Nesya minta saya dateng, nggak mungkin kita muterin komplek berkali-kali, kan?"

Nesya tersenyum masam, "saya mau pulang kalau selingkuhannya udah pergi dari sana."

Zaver tancap gas ke arah lain, ia tadi sempat melihat warmindo kekinian di jalan utama. Segera diarahkan mobil ke sana, Zaver malas jika harus berdiam di mobil tanpa Nesya banyak bicara.

"Bu Nesya nggak turun? Nangis dan stres buang-buang energi, Bu," tukas Zaver seraya membuka pintu mobil.

"Kamu mau jadi bahan omongan orang lain. Kamu dateng sama perempuan kusut dengan baju tidur?" sinis Nesya. Zaver mendengkus, capek juga berhadapan dengan perempuan yang sedang dilema. Ia melangkah keluar mobil, masuk ke dalam tempat itu untuk memesan makanan dan minuman.

Selang sepuluh menit, Zaver kembali dengan menenteng plastik bening. Ia duduk di balik kemudi lagi.

"Saya beli mie goreng kornet goreng buat Bu Nesya, saya belum tau kesukaan Bu Nesya apa, sama es lemon tea. Terima, Bu." Zaver tersenyum tipis. Nesya menggeleng pelan. Apalagi sekarang ia terus kepikiran tentang suaminya di rumah mereka. Entah apa yang sedang diperbuat dua manusia jahat itu.

"Saya makan dulu kalau gitu, laper. Di rumah tadi nggak makan. Lagi ada perang dingin."

Nesya menoleh, keningnya mengkerut karena ucapan Zaver tadi. "Kamu berantem atau habis dimarahin?"

Zaver menggeleng pelan, "bukan apa-apa, makan, Bu." Zaver menyuap mie goreng dengan telur ceplok pesanannya. Nesya kembali memalingkan wajah ke arah kiri.

Menit berganti, Zaver makan sambil menonton film horor di ponselnya.

"Setan begini ditakutin, gebuk aja!" umpatnya kesal disela menyedot es coklat miliknya. "Masih serem setan lokal. Ngagetin. Ya, nggak, Bu Nesya?" toleh Zaver Nesya yang sedang menyeka air mata dengan punggung tangannya.

"Bu, kok nangis. Takut sama suara film yang lagi saya tonton, ya?" lirih pemuda itu tak enak hati.

"Bukan," parau Nesya. Ia terisak lantas meraih tisu dari laci dashbord mobil.

"Terus?" cecar Zaver. Ia rapikan sampah wadah makan ke dalam plastik lain yang memang tadi ia minta secara sengaja.

"Saya ..., nggak tau kalau akan begini jadinya," ucap parau Nesya dengan kepala tertunduk. "Kamu jangan buru-buru nikah nanti, Zaver. Harus dipikir matang-matang, jangan cuma karena cinta kamu jadi ... hah ...!" Nesya tidak melanjutkan kalimatnya.

Kedua mata Zaver melihat pergelangan tangan kanan Nesya yang terlihat memar. Ia raih cepat pergelangan Nesya, lalu memperhatikan dengan membolak balik. "Bu Nesya dikasarin dia lagi! KDRT!" teriak Zaver.

"Lepasin! Nggak sopan kamu tarik-tarik tangan saya!" omel Nesya.

Zaver terus menatap tajam, pun Nesya yang tak kau kalah. "Saya mau pulang," pinta Nesya.

"Nggak. Jujur bilang Bu Nesya diapain dia," tegas Zaver.

"Bukan urusan kamu. Saya capek. Udah malam juga." Nesya berkilah. Zaver memasukan gigi mundur, ia injak pelan pedal gas.

"Ini malam minggu, Bu. Ngapain pulang buru-buru, lagian di rumah juga makan hati," sindir Zaver. Ia melajukan ke arah lain, Nesya hanya bisa pasrah karena jawaban Zaver benar.

Tujuannya, tak pasti ke mana. Zaver memutari kota Jakarta. Rasanya mengajak seseorang yang galau tak perlu harus ke tempat ramai, ke tempat sepi lebih baik.

"Ini ... di mana?" Nesya menatap sekitar, masih di dalam mobil mereka.

"Tempat saya latihan renang. Turun, Bu." Zaver segera membuka pintu. Nesya buru-buru turun juga.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang