Dikejar anjing

634 89 5
                                    

🏆🏆🏆

Nesya masih tak habis pikir dengan tingkah laku Zaver. Setiap hari selalu ada saja hal-hal sepele yang mengejutkan dirinya. Entah mendadak membelikan makanan yang sudah ada di atas meja, mading heboh karena Zaver menulis puisi dengan kode keras mengarah kepadanya, hingga mencegatnya di tangga lantai dua untuk sekedar tersenyum menyapa setelahnya pergi berlalu dengan santai.

Nesya was-was, takut ada yang sadar itu kelakuan Zaver dan membuat sekolah heboh.

Pandangan Nesya tak pindah dari layar ponsel saat membaca artikel berita tentang pemeriksaan papanya. Sudah ramai karena menyeret beberapa orang petinggi pegawai keperintahan.

Mobil SUV hitam berhenti di depannya saat duduk di halte bus. Ia berdiri, mendekat lalu masuk ke dalamnya.

"Sekolah aman, kan, Nes?" tanya Endah yang baru pulang dinas, masih memakai seragam polwannya.

"Aman, Kak. Cuma ya nggak bisa dipastiin juga." Nesya memakai seat belt.

"Selama mereka nggak tau kamu anaknya siapa atau latar belakang keluarga kita, tenang aja, ya. Fokus mengajar," ujar Endah. "Terus, kuliah kamu gimana? Satu semester lagi, kan?"

"Ini sambil jalan, Kak. Aku terpaksa pindah kelas karyawan, hari sabtu aja. Awalnya kampus larang karena tanggung katanya dan tanya alasan aku malah pilih sambil ngajar itu apa."

"Kamu jelasin?" lirik sepintas Endah lagi.

"Iya. Aku jujur bilang kalau emang di sekolah ini butuh guru pengganti. Kebetulan emang satu jurusan sama kuliahku, kan. Bagusnya sekolah ini nggak harus lulusan Spd jadi aku bisa ngajar. Walaupun ya gajinya perjam."

Endah tersenyum tipis. "Jalanin aja, buat isi waktu luang kamu. Soal, Fery gimana? Dia masih hubungi kamu? Udah dua minggu kamu nggak sama dia, kan?"

Nesya menghela napas panjang, diarahkan pandangan ke kiri. Jalanan belum begitu macet karena masih jam tiga sore.

"Hubungi, Kak. Dia cari aku, minta maaf dan--"

"Kalau kamu luluh, kamu bodoh, Nes. Kakak udah gregetan mau bikin laporan KDRT, tapi kamu nggak ada bukti buat tuntut dia." Endah memasang lampu sen kiri karena akan belok ke jalanan mengarah ke rumahnya.

"Iya ... aku bodoh," sendu Nesya seraya memejamkan kedua mata.

"Eh, kok macet. Ada apaan di depan?" cicit Endah. Nesya menatap jalanan di depannya. Cukup panjang, juga ramai orang.

"Ada kecelakaan kali, ya?" sambung Endah lantas turun. Ia siapkan ponselnya juga. Nesya tetap duduk di dalam mobil.

Tak lama Endah kembali, ia meminta Nesya mengambil kartu tanda pengenal Endah.

"Ada apa, Kak?" ujar Nesya.

"Serempetan motor, malah ribut gebuk-gebukan. Kakak udah telpon temen yang jaga di perempatan sini biar melerai." Endah berjalan ke kerumunan lagi, mencoba memediasi keributan.

Saat Nesya menoleh ke kiri, ia melihat Zaver dengan sepeda motornya. Tampak santai duduk mengamati keributan di depan sana.

Nesya terus memperhatikan wajah Zaver walau tertutup helm setengah. Pemuda itu tetap lurus pandangannya, dari samping Nesya memperhatikan mancungnya hidung Zaver, wajah sedikit tirus, sorot mata tajam.

"Hayo! Lihatin siapa?" Endah mengejutkannya. Nesya berjengkit di tempat.

"Nggak lihatin siapa-siapa, Kak. Itu ... muridku," tunjuk Nesya.

"Oohh," sahut Nesya. Kemacetan terurai, mobil melaju pelan begitupun sepeda motor yang dikendarai Zaver.

Ternyata mereka satu arah, hanya saja Zaver lebih dulu berbelok masuk ke kompleknya sementara Nesya masih lurus satu kilometer lagi. Komplek rumah Endah tak jauh dari sekolah Nesya, jadi lebih  dekat jaraknya.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang