Ditampar

631 95 10
                                    

🏆🏆🏆

"Kamu gila," umpat Nesya. Zaver hanya tersenyum dengan sebelah alis terangkat. "Pulang." usir tegas Nesya yang tak suka dengan niatan Zaver.

"Nggak, ah. Masih betah," tolaknya lantas bersandar pada kursi.

"Saya panggil Kak Endah, ya," ancam Nesya sambil melemparkan tatapan tajam.

"Panggil aja. Saya nanti jujur kalau naksir kam--"

Mobil masuk ke garasi. Doni pulang. Ia turun sambil menatap bingung karena ada anak muda lelaki yang ngobrol dengan adiknya.

"Mas," sapa Endah. Ia menyalim punggung tangan suaminya lalu memberikan segelas air putih yang sudah disiapkan dari dalam rumah.

"Siapa?" sontak Endah mengarahkan pandangan yang sama dengan suaminya.

"Oh, muridnya Nesya. Mau tanya materi bahasa indonesia." Endah menerima gelas yang sudah kosong, membawanya ke dalam rumah.

"Malam, Kak." Dengan sopan Zaver menyapa.

"Malam," balas Doni tanpa melepas tatapan curiga.

"Saya Zaver. Muridnya Bu Nesya. Baru pulang, Kak?" Zaver sok akrab. Doni mengangguk pelan tetap keheranan, ia juga bergantian menatap Nesya yang tersenyum memaksa. Takut Doni bertanya macam-macam.

"Nesya, kenapa cuma dikasih minum. Kamu nggak keluarin cemilan? Atau beli makanan. Kasihan murid kamu," tegur Doni tak lama ia memberikan uang seratus ribu ke adiknya. "Beli makanan sana."

Nesya ragu menerima uang, tetapi Doni segera menyelipkan ke jemari adiknya.

"Kebetulan saya laper, Kak. Boleh ajak Bu Nesya keluar?"

Doni mengangguk. "Jangan lama-lama."

"Pasti." Zaver meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja teras.

"T-tapi ...," jeda Nesya. Doni menyuruh Nesya pergi dengan gerakan kepala karena Zaver sudah berjalan ke arah BMW yang terparkir. Nesya meraih ponselnya, ia berjalan menunduk ke arah mobil Zaver.

Endah menyiapkan makan malam suaminya, ia melongok ke teras depan. "Nesya ke mana? Muridnya udah pulang, ya?"

"Belum. Aku suruh beli makanan. Muridnya dateng dikasih minum doang." Doni meletakkan tas kerja model ransel di atas sofa dekat TV.

"Diizinin? Padahal tadi aku larang." Endah menyentong nasi ke atas piring. "Tapi yaudah, lah. Anaknya baik dan dia anaknya Pak Dipa."

Doni yang sedang melepaskan sepatu sampai berhenti. "Dipa?! Pak Dipa yang--"

"Iya. Pak Dipa yang itu. Aku sempet nuduh Zaver suruhannya Fery, ternyata bukan. Lucu, deh, tadi sampe tunjukin KTPnya ke aku biar aku yakin." Endah tertawa pelan.

"Namanya Zaver?" Doni meletakkan sepatu di rak dekat pintu belakang tempat jemuran baju.

"Iya. Zaverio. Aku tadi stalking sosmednya."

Doni tersenyum tipis lantas cuci tangan di wastafel sebelum duduk di kursi meja makan.

Diam-diam Zaver bersorak dalam hati saat keduanya menuju ke tempat makan.

"Mau makan di mana?" Pertanyaan basa basi supaya tidak canggung.

"Kamu yang laper, kan." Nesya menyahut dengan ketus.

"Ke mal ya, masih belum tutup. Ke toko buku sekalian."

"Udah jam setengah sembilan lewat, bentar lagi malnya tutup." Nesya melirik sebal.

"Kalau gitu ... kita ke tempat lain." Zaver tau akan ke mana, Nesya hanya diam malas menyanggah.

Jam sembilan malam keduanya sampai di tujuan. Rumah dipinggir jalan raya besar bernuansa serba putih, lampu yang juga terang, membuat suasana di dalamnya terlihat dari luar.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang