Minggu sore berbeda

748 116 5
                                    

🏆🏆🏆

"Dek, serius?" Letta lemas setelah mendengar penuturan putranya setelah pulang ke rumah.

"Iya lah, Bu. Disegerakan lebih baik." Zaver memainkan alisnya naik turun. Ia begitu bahagia hingga duduk santai bersandar pada sofa dengan kedua tangan direntangkan lebar.

Letta justru tampak ragu untuk menanggapi lagi. Sedangkan Dipa yang sedang repot urus touring para pensiunan geng motornya belum tau Zaver minta nikah.

"Dek, kamu masih harus koas, belum rentetan lainnya sampe bener-bener jadi dokter. Nesya juga ... maksud Ibu ...." Letta sedih sebenarnya, apalagi sudah diceritakan Zaver perihal kemungkinan tak akan punya keturunan.

"Bu, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini selama kita berusaha. Ibu selalu ajarin Zaver begitu, kan?" Zaver pindah duduk, merapat ke ibunya lalu ia bersandar manja pada bahu kanan Letta yang menghela napas panjang.

"Anak memang impian setiap pasangan, tapi buat Zaver sendiri itu bonus. Sekarang, Bu, misal Zaver nggak nikah sama Nesya, sama cewek lain, punya anak, belum tentu Zaver happy. Intinya, sama siapa kita bisa hidup berdua selamanya dan bisa bahagia, langgeng. Belum lagi hadapin banyak masalah."

"Iya ... tapi, sebagai Ibu, Ibu juga mau lihat darah daging kamu, Dek." Walau bernada pelan, Letta berusaha menyampaikan pandangannya. Ia tak lagi keras jika bicara soal Nesya.

"Doain kita berdua aja, deh, Bu. Zaver juga mau punya anak kandung, tapi ya sama Nesya, kalau nggak sama dia, nggak, deh. Mendingan jomblo."

Letta menoleh cepat, ia pukul pelan paha Zaver. "Sembarangan ngomongnya ya," kesal Letta.

"Ya lagian, Ibu. Pokoknya, nikahin Zaver sama Nesya. Titik." Zaver memeluk Letta dari samping. "She is everything to me, Bu. Ibu tetep nomer satu habis itu Nesya, terus Papa, Oca, Arya, baru terakhir Kak Zena!" Zaver tergelak.

"Hah! Apa barusan, Dek!" Singa datang. Zaver memutar pelan kepalanya seraya nyengir. "Coba bilang lagi, coba!" Zena mendekatkan telinga ke hadapan Zaver.

"Kakak segalanya buat Zaver ...." Ia beluk gemas Zena hingga berguling keduanya di karpet, diciumi pipi Zena gemas. "Kakak paling baikkkk!" teriaknya. Letta tertawa melihat tingkah laku anaknya itu.

"Buuu! Tolonginnnn!" teriak Zena tapi Zaver semakin memeluk gemas kakaknya.

"Omaaaa!" teriak empat cucu Letta. Mereka melihat ke mamanya yang dibekap Zaver. "Ada gulat! Serbu Mamaaa!" teriak kembar tertua. Zena menjerit saat adik dan empat anaknya menibannya lalu menciumi wajah Zena.

"Udah ... udah ... hadohhh berattt kaliannnn!" protes Zena seraya memukul karpet.

"Mama kalah!" ujar si kembar terakhir. Satu persatu beranjak pergi ke arah kulkas mencari es krim. Zena terengah bersama Zaver di atas karpet seraya terlentang.

"Bu, Zaver kenapa? Gila ya, ketawa-ketawa sendiri?" liriknya ke Zaver yang terus senyam senyum.

"Minta nikah sama Nesya secepatnya. Ibu bingung, Kak," ujar Letta lantas beranjak menuju ke arah empat cucunya. Lebih baik meladeni si kembar empat, urusan Zaver harus tunggu Dipa dan Zano.

"Serius?" Zena menendang pelan kaki Zaver.

"Iya, lah. Semalem lamaranku diterima sama Nesya. Aku nginep, Kak, di kosannya," kekeh Zaver. Zena melotot. Ia duduk bersila.

"Wong edan! Kamu coblos dia, ya!" tegas Zena.

"Nggak lah! Kakak yang edan. Dulu aku berapa kali ngegepin sama Mas Mandala asoy banget cium--" Mulut Zaver dibekap Zena.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang