Panjang urusannya

610 103 10
                                    

🏆🏆🏆

Zaver digotong warga menuju mobil tetangga. Nesya ikut ke rumah sakit karena bagaimanapun ia harus menemani juga diobati.

Dengan tetap panik, Nesya mencoba menenangkan Zaver yang terus mengerang.

"Kamu adeknya Pak Doni, kan?" ujar tetangga yang mengantar.

"Iya, Om. Kami mau pulang ke rumah Kak Doni, tapi dipepet preman tadi." Nesya meremas kedua jemari tangan. Kecemasannya tak bisa ditutupi.

"Lapor polisi atau Bu Endah, nggak bisa dibiarin kayak gini. Nanti saya minta Pak Amir lihat CCTVnya, siapa tau pelaku kelihatan." Masih fokus mengemudi, pria itu tetap bertanya kepada Nesya.

IGD rumah sakit menjadi tujuan mereka. Zaver terus mengerang terutama saat dokter memeriksa punggung serta bahunya.

Rotngen pun dilakukan. Nesya hanya memar di betis kiri, tak ada luka lainnya. Dengan wajah khawatir, ia berdiri menunggu di depan ruangan itu.

Doni dan Endah datang, masih berpakaian kerja profesi masing-masing. Semua mata mengarah ke mereka karena Endah memakai seragam polisi.

"Gimana Zaver?" Doni panik.

"Masih di rontgen, Kak. Aku nggak tau tadi siapa ... tiba-tiba." Kata-katanya terhenti, Endah segera memeluknya. Tangis Nesya pecah, satu hal yang ia takutkan, bahu Zaver karena esok final. Jika riskan, dipastikan Zaver tak bisa bertanding. Hatinya akan tak nyaman, pasti disalahkan.

"Kamu lihat plat nomor motornya atau orangnya?" Endah mengajak Nesya bicara sambil duduk.

"Nggak, Kak. Kejadiannya cepet banget dan aku juga diseret salah satunya. Kayak ... kayak dijauhin dari Zaver. Kak, aku nggak enak hati kalau Zaver sampe cidera dan besok nggak bisa tanding. Aku pasti disalahin semua orang, Kak," isaknya.

Endah mengusap bahu Nesya. Doni keluar dari IGD. Wajahnya kusut.

"Zaver cidera di kedua bahunya, punggung kiri juga memar parah, tulang rusuk kanan juga sedikit geser. Apa tadi dia digebukin?"

Nesya menangis tersedu-sedu sambil menutupi wajahnya. Apa yang bisa ia katakan besok ke sekolah. Pasti semua akan tau ini karenanya. Semakin parah mimpi buruk Nesya.

Zaver dirawat, karena rasa sakitnya ia harus diberi obat penenang. Endah dan Doni masih menemani, terpaksa menghubungi Dipa yang begitu terkejut. Dipa meminta bantuan tiga sahabatnya untuk mengurus Zaver sementara ia menenangkan Letta yang terus menangis.

Brian, Rino dan Juan sudah di kamar rawat. Mereka bicara dengan Doni yang menjelaskan akar masalah.

"Bukan salah Nesya. Dipa dan Letta pasti paham. Doni nggak perlu khawatir, nanti kami yang jelasin." Juan menjadi jubir. Ia menoleh ke Zaver, terasa sedih karena keponakannya besok tak bisa bertanding.

Pandangan mereka menoleh ke arah kiri, Zena berjalan cepat ditemani Mandala. Juan, Brian dan Rino melotot karena Zena membawa tas ransel besar.

"Barbar junior kumat, No," lirih Juan.

"Kelar deh, panjang nih urusannya," sambung Brian. Ia mengusap pelipisnya.

"Om!" teriak Zena seenak jidad, gema suaranya memekik kencang di lorong kamar rawat. Ketiha sahabat Dipa meringis.

"Zena sayang, tenang dulu, ya ...," bujuk Rino yang paling dekat dengan Zena sejak kecil.

"Tenang? Nggak pake! Ayo kita cari premannya! Minta bonyok kayaknya!" Zena mendidih, amarahnya meletup-letup.

Brian mendekati Mandala. "Man, bawa apa bini lo?" bisiknya.

"Stik kasti andalan sama batu bata, Om," cicit Mandala. Brian meringis lagi.

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang