Gantungan jemuran

654 109 9
                                    

🏆🏆🏆

Keduanya melepaskan pelukan. Nesya mengajak duduk Zaver di kursi pojok jendela mengarah ke jalan raya.

"Mau minum apa? Saya pesenin," tawar Nesya.

Zaver hanya diam, pandangannya masih mengarah pada penampilan juga wajah Nesya yang cukup ada perubahan.

"Kenapa gitu lihatnya? Saya makin tua?" sarkasnya kepada diri sendiri.

"Menawan," ujar Zaver. Cailah, Ver, mulai makin jago memuji kayaknya.

Nesya tersenyum lantas beranjak ke pintu belakang yang tembus ke kedai kopi di sebelah, tak lama ia kembali lagi, duduk berhadapan dengan Zaver.

"Sejak kapan di Bandung?" Pertanyaan itu yang pertama kali sejak tadi ingin didapat jawabannya.

"Udah lama. Sebelum kalian lulus SMA." Nesya bertopang dagu, tatapannya juga tak beranjak dari wajah Zaver. Dengan matanya, Nesya memahat tegasnya tulang wajah Zaver, lekukan mata, hidung, alis, hingga bibir.

"Ada yang aneh?" sinis Zaver karena sadar dengan tatapan Nesya.

"Nggak. Cuma kamu makin dewasa. Gimana kuliahnya?" Nesya duduk tegap, kedua tangan diletakkan di atas meja kayu bulat berdiameter enam puluh centi.

"Kamu di Bandung sama siapa selama ini?"

Dari tadi keduanya lebih banyak melempar pertanyaan dibanding menjawab.

"Seneng akhirnya kuliah kedokteran?" timpal Nesya lagi.

Keduanya diam, saling pandang lantas terkekeh.

"Kamu jawab pertanyaan saya dulu," tukas Zaver. Ia terlihat lebih santai posisi duduknya.

"Mmm, di Bandung tinggal sendiri. Setelah saya recovery dari mimpi buruk itu dan resmi cerai, saya pindah ke sini. Tawaran Wiwin, teman kuliah saya untuk kerja jadi proof reading penerbit punya Tantenya, saya terima dan ya ... saya di sini sekarang."

"Bukannya senior editor?" sanggah Zaver. Di luar, gemericik hujan masih terdengar walau tak sederas tadi. Senja tak tampak karena tertutup awan kelabu, akan tetapi, lampu-lampu yang mulai menerangi sekeliling juga tempat itu, membuat suasana senja kali ini berbeda bagi keduanya.

"Sebenarnya, divisi mana yang butuh bantuan, saya pegang kerjaan itu." Nesya tersenyum tipis.

"Udah berhenti jadi guru?" Zaver lanjut bertanya. Anggukan kepala Nesya menjadi jawabannya. "Kenapa?"

"Saya mau tenang. Dengan ada di sini, kerjaan saya begini, saya merasa lebih semangat buat jalanin hari demi hari. Banyak hal udah saya lewati semenjak saya pisah dari Fery."

Zaver terkekeh sinis. "Apa kabar bajingan itu?" senyuman licik muncul dari bibir Zaver.

"Meninggal. Setahun setelah babak belur dihajar Bang Ijal."

Zaver melotot. Kaget juga hal buruk bisa menimpa Fery.

"Bang Ijal, di penjara?" Zaver jadi semakin penasaran. Dua kopi hangat datang, Nesya menyuguhkan satu untuk Zaver.

"Makasih, ya," ujar Nesya ke karyawannya.

"Cobain roti gulung gorengnya, ini isi kacang kenari." Nesya menyodorkan piring isi roti gulung isi enam. Wangi sekali, Zaver sampai menelan ludah.

"Bang Ijal gimana?" Zaver mengalihkan fokusnya dari makanan ke Ijal.

"Kerja. Awalnya tertarik tawaran Papa kamu, tapi setelah dipikir-pikir dan ternyata kasus dia mukul Fery nggak ada pelaporan apapun, Bang Ijal milih balik ke kepolisian tapi ... dia harus ikutin semua peraturan, kedisiplinan lah." Nesya menyesap kopi perlahan. Bibirnya menempel pada pinggiran cangkir, Zaver terus memperhatikan.

"Bang Ijal balik jadi intel. Jarang di kantor. Kayak sekarang, udah sebulan saya nggak tau di mana dia, kita semua nggak ada yang tau."

Zaver menyesap kopi miliknya, terasa hangat di kerongkongan.

"Papa, gimana?" cicit Zaver.

"Masih di dalam. Hukuman Papa sepuluh tahun penjara." Nesya tersenyum masam, jika ingat papanya, ia sedih tapi mau apa lagi. "Aku cuma berharap ada remisi jadi Papa bisa keluar lebih cepat."

Zaver hendak buka mulut tapi lebih cepat Nesya bicara. "Mau tanya apa lagi? Mama?" kekeh Nesya. "Mama tinggal sama Mas Doni, karena di sana Mama ada aktifitas nemenin dan dampingi dua anak Mas Doni. Mama juga sekarang lanjutin hobi bikin kue, jadi rumah Mas Doni dan Mbak Endah setiap hari wangi kue. Roti ini juga resepnya Mama. Cobain, deh," ujar Nesya. Zaver mengambil satu, ia gigit roti lantas mengunyahnya pelan. Memang terasa enak, ia baru merasakan sensasi kacang kenari di dalam roti.

"Kuliah kamu gimana?" Nesya kembali bertopang dagu, tersenyum ke arah Zaver yang terus degdegan.

"Udah lulus. Lanjut Koas. Lagi tunggu jadwal penempatan di mana. Mudah-mudahan di Jakarta atau di sini," tukas Zaver lalu menyeruput kopi lagi.

Nesya tersenyum tipis. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Kayaknya saya harus tinggalin kamu, masih ada kerjaan." Ia beranjak, Zaver panik, seolah Nesya akan pergi darinya lagi.

"Ikut," lirihnya dengan tatapan melas.

"Ikut ke mana?! Ngaco kamu," sebal Nesya tapi ia tertawa pelan.

"Nesya, serius, jangan pergi lagi," semakin nanar Zaver menatap.

"Nggak mungkin saya pergi, saya tinggal di sini, kerja di sini. Cari kerjaan sekarang susah, jadi jalani yang ada di depan mata." Nesya lanjut melangkah, ia menuju ke tangga bercat putih tapi sempat menoleh ke arah Zaver yang tersenyum menatapnya. Nesya menunduk, mengulum senyum sambil menaiki anak tangga hingga lantai atas.

***

"Bu, boleh, ya," izin Zaver minta menginap di Bandung. "Nesyanya udah ketemu, Bu, ayo lah, izinin," rengeknya.

"Dek, Ibu takut kamu kebablasan. Nggak, ah! Pulang, ya. Naik kereta." Letta memang takut, Zaver bisa aja nekat, ia laki-laki normal apalagi kepalang cinta dengan Nesya.

"Bu, izinin," rengeknya bernada manja.

"Mas Dipaaa! Adek mau nginep katanya, aku takuttt!" teriak Letta. Zaver. Sampai menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia bicara di depan tempat itu, hujan sudah reda, langit juga sudah gelap.

"Izinin aja! Kalau nekat kawinin langsung!" sahut Dipa.

"Mas Dipa, kok, gituuuu," dumal Letta. Zaver terkekeh karena orang tuanya masih suka begitu.

"Halo, Dek," suara Dipa terdengar.

"Hm!" sahut Zaver.

"Ham hem ham hem, jawab yang bener dulu!" semprot Dipa.

"Apa, Pa," jengah Zaver.

"Semalem aja, ya. Nginep di mana?"

"Boleh, nih?" goda Zaver.

"Iya. Di mana tapi?"

"Di rumah Nesya, lah. Udah ya, Pa, bye!" Zaver mematikan sambungan. Lalu kembali masuk ke dalam tempat itu. Nesya baru turun dari lantai atas, berhenti di tengah titian tangga, menatap heran ke arah Zaver yang tersenyum lebar.

"Kenapa kamu?" Nesya melangkah lagi, sepatu teplek warna hitam yang dikenakan begitu menunjang penampilan Nesya menjadi menggemaskan.

"Seneng saya bisa lihat kamu lagi. Selama ini banyak yang mau saya omongin ke kamu. Sesuai permintaan kamu supaya saya fokus kuliah. Sekarang saya lulus tepat waktu, lanjut Koas, setelah itu UKMPPD, lulus itu sumpah dokter, lanjut intership atau dokter magang satu tahun kalau lancar, kalau nggak ya saya terus intern. Terakhir, sekolah spesialis."

Nesya berdiri dititian tangga paling bawah. Keningnya berkerut karena bingung dengan kata-kata Zaver.

"Okey..., terus? Semua yang tadi kamu kasih tau ke saya, intinya apa?"

Zaver melangkah pelan menuju ke Nesya. Ia mencondongkan tubuhnya ke Nesya, wajah keduanya berhadapan dekat.

"Jangan jadikan saya gantungan jemuran, saya mau sekarang kita perjelas hubungan kita apa, Nesya. Saya siap LDR. Saya setia sama kamu. Sekali lagi saya bilang, saya cinta sama kamu."

bersambung,

Now or Never ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang