Secup Mie Instant

50 11 0
                                    

Jenar lalu tidak sadar ketiduran dua jam lamanya hingga saat ia bangun sudah jam delapan malam. Kini perut Jenar lapar. Ia rasa dirinya harus mencari makan ke luar sana demi kenyamanan tidurnya malam ini.

Meski sepertinya ia tidak akan bisa tidur karena masih galau memikirkan Hanif.

Beruntung kaki Jenar sudah bisa digerakkan walau belum terlalu pulih. Kabinnya gelap, ia lalu menutup tirai dan menggelapkan jendela agar bisa menyalakan lampu .Jenar pergi mandi lalu berganti pakaian. Mengoleskan counterpain dari kotak P3K. Mengikat rambutnya, memakai jaket lalu berjalan ke arah Bob Helper.
Tempat pegawai penginapan standby. Disana juga disediakan makanan instant yang busa dibeli 24 jam. Ia berencana menyeduh mie instant lalu duduk di depan kamarnya seraya menatap ombak agar bisa menenangkan pikirannya.

Berjalan ke arah Bob Helper. Mata Jenar melihat ada seseorang disana berdiri sambil menyeduh air panas kedalam cup mie. Sosok lelaki yang tadi menolongnya. Jenar bisa melihat dengan jelas wajah itu karena Ia berdiri menyamping dibawah sorotan lampu putih.

"Malam Mbak Jenar, kabin 3?" Sapa seorang pria muda yang berdiri didepan kabin kecil itu. Gena langsung menolehkan wajahnya, melihat Jenar bagaikan secercah sinar bagi Gena. Siapa yang tidak suka melihat perempuan cantik bukan?

"Ah ini kotaknya terimakasih." Jenar menyerahkan kotak P3K pada pria muda dengan tulisan 'Panggil saya Heru'

"Mbak Jenar sudah baik?" Tanyanya.
"Oh sudah sudah. Sekarang masalah saya satu." Kata Jenar menaikan telunjuknya.
Pria muda itu memasang wajah panik, "Apa Mbak? Ada yang bisa saya bantu? Maaf tadi di pantai memang tidak ada pengawas. Maaf sekali kami bisa memberi ganti rugi."

Jenar bisa melihat Gena tertawa geli sambil menutup cup mienya. "Eh bukan itu. Saya lapar."
Ujar Jenar.

"Aah itu silahkan Mbak, boleh apa aja. Compliment."
Jenar tersenyum, "Gak usah." Ia langsung masuk kedalam minimarket kecil itu dengan ceria menghampiri lelaki itu seperti menghampiri teman sendiri. Jujur, sejak tadi ia memikirkan Gena, berharap mereka bertemu lagi di lain kesempatan. Dan ternyata semesta mengabulkan keinginannya.

"Gena," panggil Jenar, membuat pria itu menoleh padanya.

"Udah puas godain pegawainya?" Gena menatap Jenar dengan ekspresi geli. Alam bawah sadarnya menyuruh ia berdiri menunggu Jenar menyeduh mienya. Perlakuan sederhana, namun bisa membuat gadis yang baru lulus kuliah itu tersipu malu.

"Aku gak godain ya." kekeh Jenar ceria.

"Kakinya udah baikan?" Gena bertanya.

Jenar mengangguk. Ia menggerak-gerakkan kakinya untuk menunjukkan pada Gena. "Udah agak mendingan."

"Syukurlah...." Gena bergumam pelan. "Cuma mie? Mau kopi?"

"Ah ide bagus, bikin sendiri juga?"
"Aku bikinin."
Maka Gena pun menuang kopi instant ke papercup. Lalu menyeduhnya. Mereka berjalan menuju arah kabin dan yang lebih dekat memang kabin Jenar.

Mereka duduk disana sambil memakan mie instant dengan lahap sembari bertukar cerita satu sama lain. Mereka benar-benar menikmati kebersamaan, tak merasa canggung sedikit pun. Jenar seolah mendapat teman baru di sini. Tadinya ia takut dan ragu berlibur di pantai ini. Namun, kalau ada Gena, semua bisa dipertimbangkan.

Jenar sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa menaruh rasa percaya pada pria asing yang bahkan belum genap sehari berkenalan dengannya. Begitu juga dengan Gena. Lelaki itu merasakan kenyamanan tersendiri saat bicara dengan Jenar. Padahal selama ini ia cukup tertutup pada perempuan.

Mie dan kopi mereka habis, namun topik pembahasan mereka tak habis-habis. Dari yang semula duduk berhadapan, kini mereka duduk bersisian seraya menghadap ke arah pantai. Debur ombak di malam itu menjadi pengiring kebersamaan.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang