Pemain Andal

42 12 0
                                    

Hari ini, Gena berencana mengajak Jenar jalan-jalan ke mall untuk membeli baju bayi. Setelah bersepakat mengasuh Jihan bersama, akhirnya mereka memutuskan membeli perlengkapan untuk Jihan dikarenakan selama ini Jihan tidak memiliki banyak baju. Maklum, mereka menjadi orang tua dadakan yang tidak berpikir panjang membeli perlengkapan bayi kecuali susu.

Dikarenakan Jihan belum bisa diajak ke tempat umum karena usianya masih terlalu kecil, Gena memutuskan untuk menitip Jihan pada sahabatnya—Fadlan. Kebetulan di sana ada Hana. Keduanya sudah sama-sama tahu bahwa Hana dan Fadlan sedang dekat saat ini.

"Titip Jihan bentar, ya. Ntar gue naikin gaji lo." Gena bergurau, yang langsung dibalas cengiran oleh Fadlan.

Sebagai informasi, Fadlan itu adalah duda beranak satu. Jadi tentu ia berpengalaman mengurus bayi. oleh karena itulah Gena tidak ragu membiarkan Fadlan menggendong Jihan. Karena lelaki itu lebih berpengalaman dari padanya.

"Jangan bilang kalian mau pergi pacaran?" Hana menyeletuk, membuat Jenar refleks menabok lengan sahabatnya itu.

"Apaan sih lo? Lo kali yang pacaran berdalih mengurus bayi."

Mereka sama-sama tertawa. Hana tersipu tiap kali digoda soal Fadlan, begitu juga dengan Fadlan. Ah, bahkan hubungan dua orang itu saja lebih lancar ketimbang hubungan Jenar dan Gena.

Setelah menyerahkan Jihan ke pangkuan Fadlan, Gena lantas mengajak Jenar keluar dari kedai kopinya itu. Rasanya, hari ini seperti memulai lembaran baru. Beban mereka berdua telah mereka singkirkan tadi malam. Rasanya, mereka butuh refreshing sebelum menata hidup untuk ke depannya.

Dua puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di mall yang mereka tuju. Mulailah keduanya menjelajahi area pakaian bayi untuk Jihan. Modelnya lucu-lucu. Membuat Jenar ingin memborong semuanya saking merasa gemas.

"Ini lucu nggak sih? Kayak kucing gitu ada kuping-kupingnya segala." Jenar menjerit riang melihat baju bayi yang menyatu dengan celana itu. Terdapat kuping buatan di bagian tudung kepalanya.

"Kamu suka?" tanya Gena lembut.

"Suka. Jihan pasti lucu kalau makai ini."

Akhirnya Gena mengambil pakaian tersebut. Ralat. Semua pakaian yang dipilih oleh Jenar. Usai memilih banyak baju, mereka membawanya ke kasir untuk dibayar. Malah dikira pasangan baru-baruan oleh ibu-ibu yang kebetulan membayar pakaian di belakang mereka.

"Kalian mengingatkan Ibu dengan masa muda Ibu dulu. Dulu, almarhum suami ibu juga sering mengajak Ibu belanja kebutuhan bayi berdua," kata si ibu berbadan besar.

Jenar dan Gena sama-sama tersipu. Mau menjelaskan jika mereka bukan pasangan pun apa gunanya? Toh ibu itu tidak mengenal mereka.

"Pertahankan ya, Dek. Suami kayak suamimu ini langka. Hampir punah populasinya. Sekarang, banyak perempuan yang mengeluh karena suaminya tidak peduli sama mereka. Tapi suamimu malah mau menemani belanja kebutuhan bayi kalian. Kamu beruntung dapatin dia," celetuk si Ibu.

Gena meralat, "saya yang beruntung dapatin dia, Bu," kekehnya.

Jenar mencubit pinggang Gena karena telah jahil. Lantas Gena membisik, "biarin aja. Sesekali jadi pasutri simulasi nggak ada salahnya kan?"

Perkataan itu sukses membuat Jenar tersipu. Pipinya memerah sampai telinga. Ah ... kalau benaran juga nggak apa-apa.

***

Capek berjalan-jalan di sekeliling mall, mereka memutuskan untuk mampir ke sebuah restoran dalam mall. Lebih tepatnya restoran cepat saji.

Hari ini, keduanya terlihat lebih rileks. Mereka bercerita hal ringan tentang kehidupan masing-masing. Salah satunya kegiatan mereka ke depannya.

"Harusnya aku lebih bisa mengatur jadwal agar fleksibel dalam mengasuh Jihan. Nanti aku coba rundingkan dengan team. Nggak seharusnya aku buntu pikiran kayak kemarin sampai ngide cari orang tua asuh Jihan," Jenar menertawai kebodohannya.

Gena paham hal itu. Ia tidak menyalahkan Jenar. Ia bisa memahami sulitnya posisi Jenar saat ini. Bersyukur Jenar perlahan mau menerima keadaan walau kemarin sempat mengalami baby blues.

"Iya. Aku paham kok. Nanti aku juga bakal bantu sebisaku. Lagian jadwal kerja kamu juga nggak mengharuskan masuk kantor setiap hari kan? Maksudku, kamu kan pemimpin perusahaan gantiin Mas Leknor. Kamu bisa membuat jadwal kerja sendiri nantinya. Kita harus bekerja sama untuk merawat Jihan."

Tiba-tiba Jenar teringat satu hal. Bagaimana pun, mereka punya kehidupan masing-masing. Mustahil melajang seumur hidup.

"Aku jadi kepikiran, bagaimana kalau suatu hari kita menikah dengan orang lain?"

Suatu pertanyaan yang cukup membuat Gena terkejut. Wajah tenangnya berubah kusut, seperti tidak senang mendengar pertanyaan itu. Jenar bisa merasakan aura Gena yang berubah. Dan itu membuat Jenar merasa gelisah.

"Kalau kamu mau menikah dengan orang lain, ya silakan." Suara Gena berubah dingin.

"Silakan apa?" bingung Jenar.

"Aku akan mengurus Jihan."

"Lalu kamu tidak akan menikah?"

Gena tersenyum pahit. "Aku akan menikah saat Jihan sudah cukup umur melihat orang lain di sekitarnya."

"Maksudmu aku terburu-buru? Please, Gena. Ini hanya pertanyaan. Aku nanya ini bukan berarti aku mau nikah besok. Nggak usah kamu sindir aku segala," jawab Jenar agak sensi.

"Kamu selalu begitu. Mempermainkan perasaan orang lain!"

Gena lantas berdiri dari dudukannya dan pergi begitu saja dari kafe tersebut. Jenar sampai terburu-buru mengemasi barangnya karena takut ditinggal lelaki itu.

"Maksudmu apa sih?" Jenar menarik tangan Gena, membuat lelaki itu akhirnya berhenti melangkah.

"Di pantai waktu itu kamu juga mempermainkan aku, bukan?" sindir Gena.

Tentu saja Jenar tidak terima dituduh begitu. Sudah jelas di sini Gena yang meninggalkannya tanpa berkata apa pun. Kenapa sekarang jadi dirinya yang disalahkan?!

"Nggak salah tuh? Bukannya kamu yang ninggalin aku tanpa pamit? Kamu anggap aku sampah yang kalo udah nggak mau dipake tinggal buang!"

"Stop it! Jangan nutupin kesalahan kamu dengan melempar kesalahan ke orang lain. Kamu sendiri yang bilang kamu nggak serius sama aku. Kamu cuma anggap aku mainan, hiburan, terus apa lagi? Pelampiasan?!" Gena tersenyum miris. "Kamu wanita pemain handal."

Plak! .... satu tamparan mendarat di pipi Gena. Tangan Jenar sampai gemetaran. Matanya berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jenar pergi dari hadapan Gena, berlari ke luar mall dan cepat-cepat menyetop taksi.

Jenar menangis sejadi-jadinya. Ucapan Gena benar-benar membuatnya terluka.

****

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang