Salah Paham

36 12 0
                                    

"Bagaimana kalau kita mencari pengasuh untuk Jihan?"

Sederhana, tapi ide konyol itu membuat Gena tercengang. Wajahnya berubah kesal dalam hitungan detik. Lelaki itu tak habis pikir, kenapa Jenar menawarkan ide gila tersebut? Apa gadis itu sudah tidak mau merawat Jihan bersama-sama dengannya?

"Kamu bercanda, kan?" Hanya itu respon Gena. Ia jauhkan tangannya dari Jenar hingga membuat gadis itu menegakkan kepala dari bahunya.

"Nggak, aku serius."

"Jadi maksud kamu, kamu udah nggak mau ngerawat Jihan? Kamu mau percayain dia diurus pengasuh?"

Jenar cukup terkejut mendengar tuduhan Gena. Padahal ia hanya memberikan solusi karena tahu mereka sama-sama sibuk mengurus pekerjaan, ditambah status mereka yang masih single dan tidak memungkinkan tinggal satu atap dalam waktu yang lama.

"Ge, aku nggak bermaksud gitu," sanggah Jenar. "Aku cuma kasihan sama Jihan diurus sama dua orang yang enggak berpengalaman kayak kita. Kamu nggak kasihan? Lagipula pengasuh hanya mengurusnya di siang hari, malam kan sama aku pulang kerja."

"Kamu kasihan sama Jihan atau nggak mau direpotin? Semuanya jelas, Je. Aku bilang, aku bakal urus Jihan. Terus gunanya aku di sini apa?"

"Gena, aku—"

"Kalau kamu nggak mau ngerawat dia, bilang. Arah omongan kamu tuh ke sana!"

Jenar merasa sakit hati dituduh seperti itu. Padahal maksudnya bukan begitu. Jenar tidak pernah berpikiran tidak mau merawat Jihan. Duh, kenapa lelaki ini main tarik kesimpulan sendiri?!

"Kamu kebiasaan narik kesimpulan sendiri. Semuanya sesuai mau kamu aja. Gak pernah dengerin orang lain berpendapat!" sembur Jenar.

Gena terdiam dengan bahu naik turun. Maniknya menatap Jenar tajam. Ya, itulah kelemahan Gena. Suka main tarik kesimpulan sendiri sesuai kemauannya. Contoh besarnya yang terjadi di pantai Pangandaran waktu itu. Gena pergi sebelum meminta penjelasan pada Jenar dan membenci gadis itu tanpa sebab.

"Sekarang terserah kamu, deh. Kalau kamu nggak setuju ya nggak masalah. Kamu pikir cuma kamu yang sayang sama Jihan? Aku juga. Jangan karena aku belum biasa urus bayi kamu mikirnya ke sana," kata Jenar dengan mata berkaca-kaca.

Kini sorot mata Gena melunak, ingin membujuk Jenar, ia malah gengsi. Lagian, apa yang mau dibujuk? Bagi Gena, ia tetap benar di sini. Jenar yang terlalu egois karena mementingkan diri sendiri, pikirnya.

Jenar berdiri dari dudukannya, berniat meninggalkan sofa. Buru-buru Gena tangkap pergelangan tangannya sebelum gadis itu hengkang dari hadapannya.

"Mau ke mana?"

Jenar menjawab pelan. "Siap-siap ke kantor. Mau cek pekerjaan yang terbengkalai. Kamu mau halangin aku?"

Perlahan, cekalan Gena mengendur. Ia lepas tangan Jenar seraya mengucapkan. "Ya, silakan."

Tepat setelah mengatakan itu, Jenar kabur ke kamar. Gena memandangi kepergian gadis itu sampai akhirnya menghilang di balik pintu. Lelaki itu mencengkram rambutnya frustrasi. Pikirannya terasa berat saat ini. Masalah kantor, masalah Jihan, dan sekarang masalah dengan Jenar. Selalu saja mereka bertengkar untuk hal sepele. Gena merasa dirinya ikut kekanakan gara-gara berdebat dengan Jenar yang usianya jauh di bawahnya.

"Dia selalu begitu. Nggak pernah berubah," celetuk Gena.

****

Jenar tidak berbohong dengan mengatakan dirinya pergi ke kantor. Sejujurnya, belakangan ini para karyawan banyak mengeluh tentang permasalahan perusahaan sejak Leknor meninggal. Satu persatu klien pindah ke perusahaan lain karena tidak lagi memercayai perusahaan mereka. Mereka hanya percaya dengan Leknor. Maka, kalau Leknor meninggal, banyak pula yang pindah haluan.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang