Hilang Tanpa Bilang

41 12 0
                                    

Hari ini adalah hari terakhir Jenar berada di Pangandaran. Begitu juga dengan Gena. Secara kebetulan, mereka memang memiliki batas waktu hanya sampai hari ini saja berlibur di sini. Dan itu membuat perasaan Jenar tak tenang dari semalam.

Sejujurnya, sejak peristiwa berciuman kemarin malam, perasaan Jenar tidak tenang. Teringat kembali olehnya momen itu—

Jenar sontak memejamkan mata kala bibir lembab itu mendarat di bibirnya. Rasanya jantung Jenar terasa hendak copot dari sarangnya. Harusnya ia marah. Marah karena lelaki asing itu begitu berani menjamah bibirnya. Namun, alih-alih marah, yang Jenar lakukan justru membalas ciuman itu.

Sebuah lumatan akhirnya terjadi saat Jenar memberi akses pada Gena. Mereka saling melumat dengan lembut, mencari-cari rasa penasaran yang semakin membuat mereka ingin memperdalam ciuman. Jenar cengkram baju Gena, dan Gena refleks melingkarkan tangan di pinggang ramping perempuan itu.

Nyaris satu menit kegiatan itu terjadi, sampai akhirnya pagutan itu terlepas saat mendengar suara penjaga cabin yang terdengar nyaring mengusir anjing yang masuk ke komplek penginapan. Detik itu juga bibir mereka terlepas.

Hawa panas menyelimuti dada keduanya, hingga sensasi tersebut naik merangkak ke pipi, menciptakan rona merah yang menjalar sampai telinga. Perut mereka serasa diterbangi ribuan kupu-kupu. Keduanya saling membuang muka untuk menutupi kecanggungan yang mendera mereka.

"Ma—maaf," kata Gena mencicit. Suaranya amat pelan. Terdengar gelisah campur malu.

Rasanya akan sangat egois jika menyalahkan Gena seorang. Jenar juga membalas ciuman itu. Artinya, perbuatan itu mereka lakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada yang terpaksa dan dipaksa di sini.

Maka Jenar mengembuskan napas panjang. Ia menjawab, "gapapa. Anggap aja nggak terjadi apa-apa di antara kita. Jadi, bisa kita lupain momen ini?"

Untuk sesaat perkataan Jenar mampu membuat tubuh Gena membeku. Lelaki itu menatap Jenar dengan iris mengilat, dan sedetik kemudian kilatnya meredup. Tanpa Jenar sadari, lubuk hati Gena terluka. Tidak terima Jenar menyuruhnya melupakan momen itu begitu saja. Setidak penting itukah ia bagi Jenar? Kenyataannya, mereka memang baru kenal hitungan hari. Akan tetapi, dalam hitungan hari itu banyak kenangan yang telah mereka ciptakan bersama. Bohong kalau Gena tidak merasakan sakit saat Jenar menyuruhnya mengabaikan apa yang baru saja mereka lakukan.

"Iya. Aku bakal lupain kejadian ini," jawab Gena pada akhirnya. Namun Ia menarik kembali tubuh Jenar, melumat bibirnya lagi sekarang penuh gairah. Yang membuat Gena kaget, Jenar tidak menolaknya Ia malah memegangi leher Gena. Gena memperdalam ciumannya sambil mendorong Jenar ke dalam kabin. Ia menutup pintu itu dengan tubuh Jenar. Mengabaikan desah kaget Jenar saat Ia membuka lebih dalam mulutnya dengan lidahnya. Gena melingkarkan tangannya ke pinggang Jenar yang tak tertutupi apapun. Melihat reaksi Jenar, Gena tahu ini ciuman pertamany. Ia lalu menempelkan tubuhnya ke tubuh Jenar. Dan merasakan panas tubuhnya. Dan saat bibir Gena mulai turun ke lehernya, mendengarkan desahan Jenar. Gena mulai sadar ini salah. Ia langsung menjauhkan diri dari Jenar. "Maaf."

Jenar terlihat berantakan, lipstiknya tercecer disekitar mulutnya. Dan rambutnya terlepas dari ikatannya. Ia seperti menenangkan dirinya dari semua kekacauan ini, "Tidak apa-apa. Aku juga menginginkan ini."

Gena mengigit bibirnya sambil mengepalkan tangan, "Baiklah. Aku kembali ke kamar." Ia segera keluar, menutupi kekecewaan diwajahnya.

Dan pada akhirnya, malam itu Gena kembali ke kabinnya. Hanya sebatas itu. Ciuman yang tidak berarti apa-apa...

Jenar menggeleng samar untuk mengusir ingatan itu. Jujur saja, semalam ia tidak tidur dengan nyenyak karena sibuk memikirkan Gena. Dan pagi ini ia bangun lebih cepat karena ingin segara sarapan di restoran. Ia bangun sepagi mungkin dan mengintip kabin Gena yang masih gelap. Ia lalu berlari cepat melewati kabin itu menuju restorant.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang