Dia Milikku

40 12 0
                                    

"Astaga! Kenapa Jihan sampai nangis begini? Mbak apain dia?!"

Baru saja kembali dari mini market sebentar, Jihan sudah menangis saat Jenar titipkan dengan pengasuh yang hari ini melakukan tes kedekatan dengan Jihan. Buru-buru ia ambil bayi itu dari tangan perempuan berambut pendek tersebut dengan ekspresi panik.

"Saya nggak apa-apain. Tadi cuma kasih susu," ujar perempuan bernama Anggi itu membela diri.

Sambil menggendong Jihan, Jenar cek botol susu yang berada di atas meja makan. Wajah Jenar berubah jengkel saat tahu botol susu tersebut berisi susu yang suhunya panas—tidak suam kuku.

"Ini susunya panas banget. Mbak niat mau bunuh Jihan ya?!"

"Engga gitu, Mbak. Saya hanya coba mendiamkan Jihan. Maaf karena nggak tau takaran airnya gimana. Kan beda beda," jujur Anggi merasa bersalah.

Jenar benar-benar sensitif jika itu tentang Jihan. Maunya Jihan mendapat orang tua asuh yang berpengalaman mengurus anak. Buka malah untuk menjadikan Jihan ajang coba-coba. Kalau begitu, mending Jenar saja yang mengurus daripada harus menyerahkan Jihan pada orang asing. Setidak berpengalamannya Jenar, bayi itu masih setali darah dengannya.

Ah, Jenar merasa bersalah karena membuka pengasuh untuk Jihan.

"Saya janji akan belajar lebih serius. Bu Jenar, tolong berikan saya kesempatan mencoba mengurus bayi Ibu—"

"Dengan bertindak ceroboh apa Mbak pikir bisa mengurus bayi saya?" Jenar menggeleng. "Saya nggak akan memberikan Jihan sama orang teledor kayak Mbak. Lebih baik Mbak pergi dari rumah ini!" usirnya.

"Tapi—"

"Pergi!" Jenar menunjuk pintu keluar.

Alhasil perempuan itu keluar dari rumah tersebut dengan ekspresi dongkol. Jenar menghela napas panjang. Ia mendudukkan diri di sofa sambil mendiamkan Jihan. Mendadak perasaan Jenar kacau. Matanya terasa perih, dadanya sesak bergemuruh. Jenar cium kening Jihan, air matanya menetes di kulit sensitif bayi itu.

"Maafin Tante," bisik Jenar. "Tante gagal jaga kamu...."

"Lho, Je? Kamu sendiri? Nggak jadi Mbak Anggi datang ke sini?"

Jenar mengangkat wajahnya kala mendengar suara dari arah pintu. Itu Gena. Lelaki itu tadinya pamit pergi ke kafe sebentar untuk memantau pekerjaan karyawan sekaligus menerima laporan laba rugi dari Fadlan.

Gena mendudukkan diri di sisi Jenar. Ia mengernyitkan dahi melihat Jenar menangis. "Kamu kenapa nangis?"

"Aku nggak bisa, Ge ...," isak Jenar.

"Nggak bisa apa?"

"Serahin Jihan ke orang lain. Aku nggak percaya."

"Lho, kenapa? Bukannya kamu setuju? Kamu juga yang ngusulin duluan 'kan?"

"Memang. Tapi ternyata aku salah. Aku pikir mencarikan Jihan pengasuh akan membuat hidup Jihan lebih terjamin. Tapi nyatanya Jihan malah sengsara. Aku nggak bisa lepas Jihan ke orang lain," bisik Jenar serak. Ia menoleh dengan matanya yang berlinang. "Kamu tau? Jihan hampir celaka karena keteledoran Mbak tadi. Dia kasih Jihan susu panas. Bayangin aja gimana sakitnya lidah Jihan nerima air panas gitu? Dia nggak mikir apa Jihan masih bayi? Nggak waras banget dia ...."

Gena mengambil botol susu itu dan memeriksa suhunya. Ternyata benar. Suhu susu tersebut sangat panas. Gena mendengkus kesal dibuatnya.

"Untung Jihan nggak kenapa-kenapa," kata Gena seraya menghela napas lega.

"Itu karena aku keburu datang. Kalau aja tadi aku telat datang, mungkin udah pingsan si Jihan."

Gena terdiam. Pikirannya mendadak kalut memikirkan nasib Jihan yang terombang-ambing karena orang tua asuhnya belum ditemukan. Begitu banyak beban yang Gena pikul. Belum lagi kedai kopinya yang mengalami penurunan omset bulan ini. Sementara salah satu cabang kafenya hampir tutup karena terus mengalami kerugian.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang