Pahit yang Manis

40 12 0
                                    

Sakit di pipi Gena tidak sebesar sakit yang ia rasakan di dada. Gemuruh menyesakkan jiwa, mengirimkan perasaan kemelut yang membakarnya dalam api kegelisahan. Terbayang olehnya wajah sedih Jenar. Tatapan sendu perempuan itu. Serta ucapannya yang mengatakan bahwa ia dibuang begitu saja.

"Argh!" Gena membanting setir, mengacak rambut frustrasi karena bingung dengan perasaannya sendiri.

Pertanyaannya, apa ia salah sangka dalam menilai Jenar? Apa ia terlalu cepat mengambil kesimpulan?

Lama Gena berputar-putar di jalan tanpa tujuan. Pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini hanya menambah masalah. Gena butuh menenangkan perasaannya sebelum nanti bertemu lagi dengan Jenar. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli minuman dingin. Ia pun menepikan mobil, berdiam diri tiga puluh menit lamanya sampai emosi di dada menguar.

Setelah dirasa sedikit baikan, barulah Gena memutuskan pulang. Setibanya di rumah, Gena disambut oleh Hana dan Fadlan yang baru keluar dari dalam rumah. Gena tidak melihat Jihan. Artinya Jihan sudah mereka serahkan pada Jenar.

Tadi, Hana mendapat telfon dari Jenar. Jenar menangis terisak mengadu padanya. Oleh karena itulah Hana mengajak Fadlan ke rumah ini untuk menenangkan Jenar sekaligus mengembalikan Jihan. Dan melihat Gena yang baru datang, timbul rasa ingin menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Gena. Ia tidak mau dua orang itu berpisah, padahal, menurut yang Hana dengar dari Fadlan, lelaki itu sepertinya juga menyukai Jenar.

Hana menjadi salah satu pihak yang merasa bersalah, karena waktu itu Jenar telfonan dengannya saat Gena menguping pembicaraan mereka.

"Aku mau ngomong sama Gena sebentar," pinta Hana, yang langsung diangguki Fadlan.

Hana menghampiri Gena, sementara Fadlan lebih dulu masuk ke mobil.

"Kamu nggak seharusnya marah sama Jenar." Hana membuka pembicaraan.

"Kamu nggak ngerti perasaanku!"

"Aku mengerti, Mas Gena. Aku paham. Justru karena itu aku mau menjelaskan semua agar kamu nggak salah paham lagi sama Jenar."

Gena diam menyimak. Lagi pula, ia juga butuh penjelasan yang Hana maksudkan. Ia sendiri tidak mau terjebak dalam pikiran overthinking yang membuatnya sakit tanpa sebab.

Terutama sakit saat melihat Jenar.

"Selama ini, yang Jenar cinta cuma kamu. Aku ngerti kamu sakit hati karena Jenar bilang kamu hanya hiburan buat dia. Jenar anaknya memang gitu, Mas. Dia gengsian buat ngaku. Apalagi posisinya waktu itu dia baru move on dari kakak aku."

"Sebenarnya, Jenar udah suka sama kamu sejak di pantai waktu itu. Dia cerita semua ke aku. Katanya kamu lelaki yang baik. Dia nyaman dekat-dekat sama kamu. Bagaimana kamu menolongnya menjaganya di pantai waktu itu membuat dia tersentuh. Kamu ... beda dari lelaki lain yang dia temui selama ini. Kamu yang membuat dia bisa melupakan Kakakku."

Gena termangu di tempat. Tubuhnya mendadak beku, perasaan bersalah menguasai relung hatinya. Ternyata .... selama ini ia telah salah menilai Jenar. Bertahun ia terjebak dalam rasa benci tanpa sebab. Gena merasa hancur mengingat itu semua.

"Terima kasih sudah menjelaskan. Aku mau menemui dia dulu," kata Gena, yang kemudian masuk ke dalam rumah untuk menemui Jenar.

Hana tersenyum lega. Akhirnya kesalahpahaman ini terluruskan juga ....

Setibanya di depan kamar Jenar, Gena mengetuk pintu. Ternyata pintunya tidak dikunci. Gena mengintip di balik celah pintu, dan ia menemukan Jenar yang sedang tertidur.

"Jenar," panggil Gena.

Jenar terbangun. Ia menoleh dengan matanya yang sembab.

"Boleh aku masuk?"

Jenar tidak menjawab, namun mengubah posisinya menjadi duduk. Melihat hal itu membuat Gena masuk ke dalam kamar Jenar. Jenar melirik Gena dengan sorot kecewa.

"Apa lagi yang mau kamu bilang sama aku?" tanya Jenar. "Nggak cukup dengan mengataiku pemain handal?"

Gena duduk di sebelah Jenar. Ia usap punggung perempuan itu, dan membuat tangis Jenar yang tadi sudah mengering hadir lagi mengisi ruangan. Gena semakin merasa bersalah dibuatnya.

"Aku hanya ingin kamu tahu, aku jatuh cinta sama kamu sejak kita di pantai waktu itu. Aku berharap kamu jadi pelabuhan terakhirku, saat itu aku bahkan tak bisa bernafas karena ombak kehidupan, tapi kamu menolongku keluar dari arus laut," ungkap Jenar.

"Aku tahu kamu udah salah paham menilai aku. Kamu selalu begitu. Mengambil kesimpulan semaumu. Kamu nggak pernah bertanya langsung ke aku tentang apa yang membuat kamu resah. Aku jadi dibenci tanpa sebab sama kamu," lanjutnya, semakin menyayat hati Gena.

"Contohnya pas aku ke kafe ketemu sama dokter Hanif. Apa kamu mau mendengar penjelasan aku? Kamu bahkan bersikap enggak peduli. Padahal, di hari itu aku nolak dia. Dia menyatakan perasaan ke aku, dan aku nggak terima perasaannya. Semua itu karena dia udah punya tunangan. Aku nggak mau jadi perusak hubungan orang. Dan alasan lain yang lebih penting, karena rasa aku buat dia udah hambar. Itu semua karena ... kamu."

Gena tercengang. Tidak menyangka Jenar menolak Hanif yang jelas merupakan cinta pertamanya. Gena merasa bahagia karena ternyata perasaannya selama ini berbalas. Lantas ia ambil tangan Jenar, dan ia taruh di dadanya. Hal itu membuat Jenar mengangkat wajah hingga tatapan mereka bersua di udara.

"Aku tau, aku begitu pengecut sampai memilih lari daripada menghadapi kenyataan. Aku bodoh karena membuat hubungan kita rumit. Aku egois nggak mikirin perasaan kamu. Untuk itu, aku minta maaf," ujar Gena tulus dari hati. "Maaf udah bikin kamu sakit sama sikapku yang nggak jelas ini ..."

"Sekarang, kamu bisa rasakan detak jantung ini?" tanya Gena.

Jenar meneguk salivanya susah payah saat merasakan sesuatu berdetak dari balik baju Gena. Detaknya begitu kencang, sama seperti suara detak jantungnya sendiri.

"Beginilah rasanya tiap aku di dekat kamu. Dari dulu, jantung ini selalu berdegup nggak karuan. Ini yang aku rasakan dari dulu. Aku sendiri bingung bagaimana mengontrolnya." Gena melanjutkan, membuat Jenar terdiam seribu bahasa.

"Jadi, setelah semua ini ... apa kamu mau menerima aku? Aku yang pengecut ini, yang membuat kamu menangis, yang membuat kamu salah paham. Apa masih ada kesempatan untuk aku menjalin hubungan sama kamu? Aku serius, Jenar. Nggak mau menjalin hubungan yang hanya untuk main-main."

Tidak ada jawaban dari Jenar, dan itu membuat Gena merasa terluka. Ia kembali bertanya, "kamu tidak mau ya? Aku ngerti kok. Mungkin kamu sak—"

Ucapan Gena terhenti saat Jenar tiba-tiba merangkul pundaknya. Secara tiba-tiba, perempuan itu meraih dagunya, lantas mencium bibirnya. Gena memejamkan mata, turut membalas ciuman Jenar yang begitu lembut karena memakai perasaan.

Setelah berciuman, Jenar menjauhkan wajah. Ia berbisik tepat di depan bibir Gena. "Apa aku harus membalas perkataanmu, hm?" katanya seraya tersenyum.

Gena tersenyum lega. Kembali ia cium bibir Jenar, kali ini penuh gairah melanjutkan ciuman mereka di kabin dulu.

END

****

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang