Lubang yang Sama

40 12 0
                                    

Hari minggu pagi memang cocok dijadikan pilihan untuk berolahraga. Seperti yang dilakukan Gena dan Jenar pagi ini bersama Jihan. Dua orang itu sengaja membawa Jihan berjemur pagi sekalian jalan-jalan ke taman yang ada dekat perumahan mereka.

Ini semua adalah ide dari Gena. Ia berinisiatif mengajak Jenar jalan-jalan pagi sekalian refreshing. Hitung-hitung untuk menambah keakraban. Karena bagaimana pun mereka ke depannya akan mengasuh Jihan bersama sebelum bayi itu menemukan orang tua asuh.

"Ini kita masih lama ya? Aku udah pegel banget, nih," keluh Jenar.

Sedari tadi gadis itu sibuk merengut-rengut karena diajak berjalan kaki. Maklum, Jenar anak rumahan. Hobbynya di hari libur kalau tidak ngedrakor, ya rebahan. Jenar paling malas diajak jogging. Jalan dikit saja ia sudah kecapean.

"Namanya jogging ya harus pegel, Je. Biar keringatan. Mana ada orang jogging naik motor?" Gena meledek.

"Tau gitu kenapa tadi kita nggak naik mobil aja? Capek banget jalan kaki."

"Itu bukan jogging namanya," sanggah Gena. "Lagian juga kita nggak lari-larian. Kita jalan santai biasa aja sambil dorong kereta bayinya Jihan."

Alih-alih mendengarkan Gena, Jenar malah duduk di bangku taman. Lelaki itu sibuk menceloteh karena mengira Jenar masih berjalan di sampingnya.

"Kamu itu masih muda. Jad—lho? Kok hilang?!"kaget Gena.

Memutar kepalanya ke balik bahu, Gena mendapati Jenar duduk menyandar di bangku itu. Lelaki tersebut menghela napas, terpaksa memutar badannya menghampiri Jenar.

Niat awalnya ingin marah-marah. Tapi melihat Jenar kelelahan membuat Gena merasa sedikit bersalah karena mengajak gadis itu jalan pagi. Maka timbul inisiatif Gena untuk membelikan Jenar minum.

"Titip Jihan sebentar. Aku mau beli minum."

Kemudian Gena pergi ke warung yang tidak terlalu jauh dari sana. Ia belikan Jenar minuman isatonik dan satu botol air mineral. Gena sibuk memilih minuman, sementara Jenar terkejut karena kemunculan Hanif yang secara tiba-tiba di hadapannya. Dari pengamatan Jenar, sepertinya lelaki ini sedang jogging pagi—sama sepertinya.

"Eh, Jenar. Sendirian aja nih?" Dokter Hanif bertanya ramah.

Jenar bercelingak-celinguk mencari keberadaan Gena. Sayangnya, lelaki itu tidak tampak batang hidungnya.

"Sama teman tadi. Dia beli minum," Jenar mengaku.

"Halo, Baby! Lucu banget, ya dia..." Hanif tersenyum melihat Jihan. Dan tidak disangka, ternyata bayi itu juga tertawa melihatnya.

"Boleh aku gendong nggak?"

"Anu. Ak—"

Terlambat. Hanif berhasil mengambil Jihan dari kereta bayi dan ia pindahkan dalam gendongannya. Jenar tentu tidak bisa melarang Hanif, takut lelaki itu tersinggung jika tidak ia perbolehkan menggendong Jihan. Lagi pula, hanya menggendong biasa, 'kan? Berlebihan sekali kalau Jihan tidak boleh digendong oleh orang lain selain dirinya dan Gena.

Hanif sibuk menghibur Jihan. Jihan pun tampak nyaman ditimang-timang oleh cowok tampan itu. Pegal, Hanif akhirnya mengambil space kosong di sisi Jenar untuk ia duduki.

Kenapa dia duduk di sebelah gue? Kalau Gena lihat gimana? Batin Jenar, panik. Namun ia segera menggeleng. Kenapa juga gue panik? Memang Gena siapa? Pacar juga bukan. Gue bebas mau dekat sama siapa aja tanpa takut marah!

"Oh, ya, nomor hape kamu masih yang lama enggak?"

"Ya?!" Jenar kaget. Kenapa tiba-tiba menanyakan nomor telfon? "M-masih," jawabnya kikuk.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang