Ditinggal Sendiri

37 12 0
                                    

"Ya aku cemburu. Puas kamu!"

Tanpa Gena ketahui, Jenar menahan senyum mendengar pengakuannya. Muka lelaki itu tampak memerah karena kelepasan bicara.

"Kamu ... cemburu lihat aku sama dokter Hanif?" tanya Jenar penuh harap.

Karena takut ucapannya membuat Jenar salah paham—atau bahkan mungkin merusak hubungannya dengan Jenar, Gena menjawab—

"Ya, aku cemburu. Kenapa harus dokter Hanif yang kamu ajak nongkrong? Kalau kamu butuh teman bercerita, aku kan selalu ada buat kamu. Selain itu, aku juga cemburu sama kamu yang memiliki waktu banyak untuk bersantai, sementara aku di sini kesulitan mengurus Jihan. Setidaknya, tahan keinginan kamu untuk bersantai itu setelah Jihan dapat orang tua adopsi."

Konyol memang. Gena mengarang alasan yang sebenarnya masuk akal, tapi tetap terdengar konyol seolah-olah ia melarang Jenar menikmati masa muda. Gena tahu ia berlebihan di sini. Akan tetapi, akan lebih bahaya lagi jika ia menunjukkan perasaannya pada Jenar—yang bahkan belum tentu memiliki perasaan yang sama dengannya, pikir Gena.

"Jadi kamu marah aku ketemu sama dokter Hanif karena nganggap aku nggak peduli sama Jihan?"

"Lain kali ingat waktu aja. Kamu juga harus bilang ke aku sama siapa kamu ketemu di luar sana. Gimana pun, partner kamu sekarang itu aku. Aku berhak tau semua aktifitas kamu dan orang yang dekat sama kamu."

Jenar tersenyum miris. Lagi, ia salah paham. Ia pikir tadinya Gena cemburu karena lelaki itu memiliki perasaan terhadapnya. Ternyata malah cemburu karena tidak bisa bebas sepertinya.

"Kamu nggak tau tadi Dokter Hanif bilang apa sama aku di kafe?"

Gena langsung menggeleng. "Itu bukan urusanku," elaknya.

Jenar menelan kekecewaan. Namun sebisa mungkin ia memasang wajah tenang dan tegar untuk menutupi kegelisahannya. Sumpah, sehari ini Jenar begitu capek. Capek dengan pikirannya sendiri, capek pula dengan perasaannya pada Gena yang terus bertumbuh.

"Aku istirahat dulu," pamit Jenar yang langsung menuju kamar dan meninggalkan Gena sendirian di ruang tamu.

Baru saja ia mendudukkan badannya di bibir ranjang, suara Gena kembali terdengar—

"Kalau udah siap beres-beres, langsung ke ruang makan, ya? Aku masak dulu."

Dapat Jenar dengar setelahnya suara langkah Gena yang perlahan menjauh dari kamar itu. Jenar menghela napas berat, lantas merebahkan badannya sejenak di atas kasur nan empuk. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit kamar.

Gena, kenapa kamu bersikap seolah kamu menyukai aku, tapi nyatanya kamu nggak punya perasaan apa-apa ke aku? Aku takut nggak bisa lupain kamu.

****

Balado telur dan sayur nangka menjadi menu makan malam mereka. Keduanya agak canggung setelah kejadian tadi. Mereka hanya ngobrol seperlunya.

Gena, pencipta kecanggungan itu akhirnya berniat mencairkan suasana. Ia membahas perihal orang tua asuh Jihan. Tadi, saat Jenar pergi dengan dokter Hanif, Gena sejujurnya telah memilih siapa yang berhak mengadopsi Jihan. Untuk itulah ia coba menyampaikannya pada Jenar malam ini.

"Oh ya, Je. Perihal pengasuh, sebenarnya aku udah dapatin siapa pemenangnya. Tapi kita perlu beberapa kali lagi lihatin apa dia sanggup mengurus Jihan atau enggak. Nggak bisa sekali coba aja. Aku sih tertarik sama yang terakhir tadi. Dia telaten mengurus anak."

Jantung Jenar mencelus mendengarnya. Wajahnya berubah murung, seperti tidak rela dengan keputusan Gena. Dan ternyata, hal itu disadari oleh Gena.

"Kenapa kamu murung?" tanya Gena, bingung.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang