Sebuah Pelukan

40 12 0
                                    

Sinar mentari menelisik melalui celah-celah tirai. Biasnya memantul ke wajah seorang gadis yang tengah terlelap, membuat kelopak mata gadis itu perlahan mengerjap dan terbuka.

Jenar mengumpulkan nyawa sejenak. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih tulang. Ia merenggangkan badannya ke kiri dan kanan  untuk mengusir penat. Ada hal yang baru Jenar sadari. Yaitu ... Jihan tidak ada di sisi ranjang sebelahnya. Detik itu juga Jenar bangkit ke posisi duduk. Jantungnya bergemeretak tak beraturan.

"Jihan!" kaget jenar.

Turun dari ranjang, ia cari-cari keberadaan Jihan. Tujuan pertamanya saat ini adalah Gena.

"Gena! Gena!" panggil Jenar panik.

Gena tidak ada di kamarnya. Di ruang tamu juga tidak ada. Namun saat ia pergi ke halaman belakang, ternyata di sana Gena terlihat sedang menggendong Jihan sambil menghadap ke mentari pagi.

Jenar menghela napas lega. Jantungnya hampir copot saat tahu Jihan tidak di sisinya.

Menetralkan deru napasnya, ia hampiri Gena hingga membuat lelaki itu menoleh seraya tersenyum.

"Udah bangun kamu? Belum cuci muka ya?"

Jenar menggeleng seraya mengucek mata. Ah, bareface Jenar sangat cantik. Walau ada belekan di matanya, tetap tidak mengurangi kadar kecantikan perempuan itu. Gena tersipu malu, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain agar tidak ketahuan memuji Jenar dalam diam.

"Cuci dulu mukanya. Biar segar," suruh Gena.

"Aku pikir tadi Jihan hilang. Kaget dia nggak ada di kamar," adu Jenar dengan suara khas bangun tidur.

"Tadi aku kebetulan bangun lebih cepat pas dengar tangisan Jihan. Aku ketuk pintu kamu, kamunya lagi tidur. Jadi aku buka pelan-pelan kamar kamu terus ambil Jihan. Maaf, ya, kesannya nggak sopan. Tapi Jihan butuh ditenangin. Udah waktunya mandi pagi sama minum susu juga," papar Gena agar tidak terjadi kesalah pahaman antara mereka.

Jenar mengerti, jadi ia hanya mengangguk seraya tersenyum. "Makasih ya?"

"Ini juga tugas aku, kok. Jangan bilang makasih," sahut Gena lembut.

Dada Jenar bergetar menerima perlakuan halus itu. Apalagi sewaktu Gena mengacak-acak rambutnya dengan sebelah tangan. Tidak disangka hal itu membuat pipi Jenar memerah.

"Sana cuci muka, terus sarapan. Tadi aku sempat bikin roti bakar buat sarapan kita sebelum Jihan bangun."

Mendengar hal itu membuat Jenar berkaca-kaca. Belakangan ini ia memang telat makan karena mengurus Jihan. Siapa sangka pagi ini ada seseorang yang membuatkannya sarapan?

"Kamu nggak capek jagain Jihan sekaligus masak gitu? Aku minta maaf... maaf karena bikin kamu repot," kata Jenar merasa bersalah.

"Udah, gapapa. Yang penting kita kerja sama aja ngurus kerjaan rumah dan mengasuh Jihan. Aku yakin kita bisa lalui ini bareng-bareng."

Mudah sekali Jenar merasa terharu dengan perhatian yang Gena berikan. Belakangan perasaannya rapuh. Jenar sangat mudah menangis hanya karena masalah sepele.

"Kalau gitu aku mandi sama sarapan dulu. Nanti kita gantian ngasuh Jihan," kata Jenar, yang langsung diangguki oleh Gena.

Dan setelahnya Jenar kembali masuk ke dalam rumah untuk memulai ritual paginya. Setelah selesai mencuci muka dan menggosok gigi, barulah Jenar turun ke meja makan untuk menyantap sarapan buatan Gena.

Jenar menghela napas berat saat menyuap roti itu ke mulut. Roti ini mengingatkannya dengan Leknor. Sebelum kakaknya itu meninggal, Leknor sering membawakan roti panggang untuk bekal Jenar di kantor. Kata Leknor, Astri yang membuatkannya. Dan ternyata rasa roti ini sama persis dengan roti yang biasa Jenar makan di kantor.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang